Loading Now

cerita tentang ku dan dia

Menjelang senja, aku pergi ke suatu tempat, dimana dulu biasa kukenakan seragam putih abu-abu. Hari ini, aku berjanji memberikan ‘hadiah’ kepada beberapa pria disana. Sebelum berlanjut lebih jauh, perkenankan aku memperkenalkan diri. Namaku Lavenia,. aku memiliki darah campuran. Papiku pribumi dan Mamiku Swedia, aku lahir di Swedia, Papi bekerja sebagai Duta Indonesia disana. Tentu aku memiliki wajah Indo, paling jelas terlihat dari hidungku yang mancung lancip, kulit dan tulang pipi. Rambutku hitam kemerahan, lurus panjang sebahu. Selain rajin merawat wajah, aku juga selalu merawat tubuh dengan fitness di gym atau sekedar jogging pagi. Tiap hari minggu di Senayan sambil TP (Tebar Pesona). Otomatis, hal itu membuat tubuhku langsing, selain diet yang cukup ketat. Tadinya kuputuskan untuk melanjutkan studi ke Australia. Namun karena permasalahan ini, membuatku banting setir untuk kuliah disini. Sama kasusnya dengan teman-temanku, yang juga ikut acara siang ini di eks sekolah kami. Teman-temanku bernama Lea, Manda dan Sherry. Geng-ku juga satu team cheers, wajah mereka sama kebule-bulean, terutama gadis yang bernama Sherry. Kuparkir mobil ketika tiba, di depanku sudah ada mobil Lea dan Manda. Kami belum mau keluar, tentu menunggu sepi dan semua guru pulang. Aku sempat melihat beberapa guru yang pernah mendidik-ku, rindu sebenarnya aku pada mereka. Ingin kusapa dan kucium tangan mereka. Tapi, bisa panjang urusan jika bertemu, disuruh main ke rumahlah, apalah. Jadinya, aku terpaksa hanya melihat mereka dari balik jendela mobil, yang terlihat gelap dari luar. Seorang pria seperti sosok tukang becak, keluar dari gerbang. Ia menghampiri kami satu persatu. Dari Manda, Lea, terakhir aku. Dia mengetuk kaca jendela mobilku, kutekan tombolnya. Terlihatlah pria hitam bertubuh gempal berpakaian satpam, tertulis nama Lodi di dadanya.

“Wah Non Nia, makin cakep aja kalo begini” pujinya, melihatku mengenakan kaca mata hitam, menghias wajah Indo-ku.

“Hai…gimana, udah sepi ?” tanyaku.

“Udah Non…udah kosong engga ada orang, gerbang juga siap di kunci” jawabnya.

“Sherry dimana ? jadi khan ?” tanyaku lagi mempertegas.

“Jadi dong Non, saya udah ngaceng dari kemaren bayanginnya..apalagi ngeliat Non Nia tambah cakep gini, Non Sherry di kantin nunggunya…” jawab si gemuk itu lagi.

“Ya udah…tunggu aja kita di tempat biasa !” suruhku memastikan.

“Siap Non, hehehe…”, pria itu pergi meninggalkan kami dengan wajah riang. Setelah dia tak terlihat, jalanan benar-benar sepi, barulah kami satu persatu keluar dari mobil.

“Hai, apa khabar ?” sapaku pada kedua sahabat, mereka balik menyapa dan kami pun bertukar pipi.

Kami bertiga, mengenakan jeans panjang dan kaus tanpa lengan. Berbincang sedikit, lalu jalan bersama masuk ke sekolah. Pria gemuk yang tadi menghampiri, berdiri di gerbang memegang kunci. Matanya menelanjangi kami satu persatu. Ketika melintas di depannya, sempat-sempatnya dia menepuk pantat kami bertiga. Seperti biasa, setiap hari sabtu, setelah bubaran sekolah. Kami berjanji melakukan ritual seks dengan mereka, Andre-Tejo-Lodi dan Seto. Tiga diantaranya bertubuh gemuk pendek, hanya yang bernama Tejo yang tinggi besar. Meskipun dari segi wajah, sama amit-amitnya. Ibarat pabrik, mereka barang gagal produksi dan harus dibuang. Kami menghampiri Sherry yang sedang duduk, dia tampak senang dengan kehadiran kami bertiga. Biasanya, dia sendirian yang dikerubuti para penjaga sekolah itu. Aku menoleh ke arah mereka bertiga, lalu berkata.

“Gimana…siap ?” tanyaku, yang langsung dijawab dengan anggukan oleh mereka.

Kami pun berjalan menuju ruang olahraga, tempat kami biasa latihan cheers, juga tempat kami melakukan pesta seks. Persis di depan pintu, aku melihat ke dalamnya. Keempat pria itu menunggu dengan resah dan gelisah, mereka berubah sumringah melihat kami masuk. Aku lebih dahulu memasuki ruangan, teman-teman menyusul di belakangku. Kuputar kaset dalam tape yang ada disitu, alunan musik pun memenuhi ruangan. Kami jejer berempat, meliuk-liukan tubuh menari seirama beat lagu Horny dari Mousse T. Melepas satu demi satu pakaian, hingga telanjang bulat. Ke-empat penjaga sekolah itu menatap penuh nafsu, empat gadis Indo tanpa mengenakan busana, bergoyang erotis. Mereka ikut membuka pakaian tugasnya, kulit hitam legam pun terpampang. Wajah mereka yang sudah buruk, terlihat makin tak tertolong saja ketika bernafsu. Kami bergerak memutar tubuh, membelakangi mereka. Dengan nakal, sengaja kupamerkan isi liang vagina dari belakang. Mereka tak sanggup menahan birahi, bergerak mendekati kami, masing-masing pejantan mencari betinanya. Aku diincar Andre, Tejo menghampiri Lea, Lodi mendekati Manda dan Seto menginginkan Sherry.

We giving them a full fun sex party till sun night smiling at us, as a gift. Gift doin’ what ?.

|||||||||||||||||||||||||||||||||||

Two Weeks before,

Hari ini tepat sebulan setelah kejadianku dengan para kuli bangunan yang memperkosaku dan juga Sherry (baca : Lavenia (lanjutan Adik Kelasku)).

“Pi…ubin di kamar mandi Nia rusak, kena kaki nih berdarah…liat deh !” ujarku manja pada Papi, menunjukkan kaki yang terluka.

“Ya ampun, Niaa…” seru Papi mengomentari luka-ku. Ia langsung berteriak, memanggil para pembantu.

Pak Karsimin si tukang kebun, Jaja supir pribadi dan mbok Siti PRT masuk ke kamarku yang dikiranya ada kejadian apa. Setelah semua berkumpul, melihat keadaan kakiku, mereka segera berlarian mengambil obat merah, kapas dan perban. Papi ngedumel tentang Pak Hasan dan anak buahnya yang tak becus kerja, kamar mandi di dalam kamar pribadiku adalah salah satu tempat mereka merenovasi waktu itu. Mami tidak ada dirumah, dia lebih dulu ke Swedia kemarin. Rencananya papi menyusul besok, disana mungkin semingguan tapi bisa juga lebih. Setelah kakiku selesai diobati, para pembantu balik ke tempat masing-masing untuk kembali bekerja. Papi juga beranjak pergi menuju ke bawah, karena kamarku ada di lantai atas. Kebetulan lukanya tidak terlalu parah, aku masih bisa berjalan normal walaupun agak nyut-nyutan. Aku menuruni tangga dengan susah payah, kulihat Papi duduk di samping pesawat telepon dan menekan beberapa angka disana. Aku duduk di sofa panjang ruang santai keluarga, tiduran menonton Tv. Samar-samar, aku mendengar pembicaraan Papi dengan seseorang, yang aku yakin sepertinya Pak Hasan.

“Bapak gimana sih, anak saya jadi berdarah kakinya !!” omel Papi pada Pak Hasan, mandor sekaligus orang yang memperkosaku kira-kira sebulan yang lalu.

(Iya Pi…omelin aja !, pukulin kalo perlu…dia pernah menggauli anakmu ini sampai tertatih-tatih jalan seminggu !!), keluhku dalam hati.

“Ya udah…besok pagi kita bicarakan, datang aja” kata Papi, menutup perbincangan.

(What !! kuli bangunan itu mau kesini lagi ?! mati gw…), aku diam termangu.

Mataku melayang ke Tv, namun tidak menonton acara yang tertayang. Aku bingung, masalahnya, vcd aku mengerjai Sherry (baca : Adik Kelasku) masih dipegangnya. Pasti dia memanfaatkan moment ini, walaupun aku merasa sedikit aman karena masih ada tukang kebun, supir dan pembantu, entah bagaimana kejadian besok. Aku terus kepikiran sampai tertidur di sofa, Papi menggendongku ke kamar-ku.

Esoknya, aku bangun agak kesiangan. Melihat dari jendela kamarku mobil Papi sudah tak ada, berarti ia sudah berangkat ke kantor. Aku turun ke bawah sarapan, yang biasa disiapkan Mbok Siti. Tapi kemudian, dia izin hendak pergi ke suatu tempat kemungkinan akan pulang malam katanya, aku tak berkeberatan memberinya izin. Selesai sarapan, aku ke ruang tengah menunggu makanan larut dalam perut. Kaki masih terasa sakit, kupijit-pijit pergelangannya, terus turun sampai dekat jari yang terluka.

(Aduh, sialan tuh kuli-kuli !), keluh-ku.

Kunyalakan Tv untuk melupakan nyerinya, tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang rupanya Pak Karsimin, biasa kupanggil Pak Simin.

“Misi Non, ini ada Dokter yang dikirim Juragan…”.

Masuklah seorang pria setengah baya berpakaian putih-putih, yang kukenal bernama dr. Purnomo. Dia adalah dokter keluarga, dibayar via per-kedatangan saja. Itupun juga, jika beliau tidak ada janji lain. Beliau pensiunan RSPAD, rumah sakit yang dikhususkan untuk angkatan darat. Kegiatan beliau saat ini hanya sesekali disana, Papi mengenalnya dari seorang teman.

“Siang…” ucap Pak dokter santun, padaku yang masih terbaring di sofa.

“Siang dok, silahkan masuk…” sahutku bangkit duduk.

“Non, kalo begitu…saya permisi kebelakang yah ” kata Pak Simin, yang kujawab dengan anggukan.

“Mari dok masuk…aku sambil tiduran ya, nyeri soalnya” kataku, agar dia tidak sungkan, dokter Purnomo pun duduk lalu menatapku tajam.

“Hmm, kenapa dok ?!” tanyaku karena risih.

“Anu dik, udah lama yah…‘nda terasa, dik Nia sudah besar sekarang…” ujarnya, yang ternyata merujuk ke masalah fisik.

(Jangan-jangan, jangan-jangan nih dokter…), prasangkaku dalam hati.

Aku jadi tak nyaman juga, masalahnya aku dalam posisi berbaring dengan celana pendek dibalik selimut. Walaupun kuakui aku senang dengan pujiannya, sebagaimana wanita yang selalu ingin disanjung.

Selagi aku berpikir yang tidak-tidak karena narsis, dia menyela.

“Jadi, bagian mana yang sakit ?”.

“Ini dok…” tunjukku, ke ibu jari kaki yang kulitnya sedikit sobek dekat kuku. Dia menghampirinya dan berjongkok disana.

Setelah melihatnya, dia tersenyum. Memang Ayahku terlalu berlebihan, luka seperti ini tidaklah perlu mendatangi dokter. Apalagi sekelas dr. Purnomo, tentu biayanya tidaklah murah. Tetapi, seperti itulah orang kaya membuang duitnya.

“Ini toh…ya ya”, dia mengangguk-angguk dan bangkit menuju tasnya untuk mengambil sesuatu.

Mengenai luka-ku bagaimana sudah dikasih tau Papi, dia hanya ingin melihat langsung takut ada sesuatu yang fatal akibat infeksi atau apa. Pak dokter mengambil buku kecil, dimana dia biasa menulis resep untuk ditebus pasien di apotik. Dia membubuhkan sesuatu melalui penanya, lalu merobek secarik kertas tersebut dan diserahkannya padaku.

“Bisa langsung ditebus yah dok, resepnya ?”.

“Iya, biar cepet hilang nyerinya…itu obat pereda dari dalam” terangnya.

“Oo…”, aku menggaruk-garuk pipi karena gatal.

“Pak Simiiin, Paaak…tolong kesini sebentar !” teriakku keras.

“Iyaaa…sebentar”, terdengar suara derap kaki, dan munculah si tua Simin di muka pintu.

“Ada apa Non ?”.

“Ini Pak, tolong tebus obat yah…” suruhku, kebetulan apotik tidak jauh dari rumah.

“Uangnya Non ?”.

“Ambil aja di kamar saya, dompetnya ada di dalam tas kecil warna Pink Pak”.

“Baik Non…”, Pak Karsimin naik ke atas, tak lama dia turun dan pergi keluar.

(Wah…tinggal gw berdua nih, Hmm…gimana kalau, kuserahkan saja tubuhku ini sebagai ucapan terima kasih), pikirku nakal.

“Itu tadi…obat penyembuh dari dalam dok ?”.

“Betul dik…”.

“Oo…”.

“Memangnya, obat penyembuh dari luar seperti apa dok ?” pancingku.

“Yaa…musti diurut-urut gitu…” jelasnya.

“Diurut gimana dok ?” tantangku, menarik selimut penutup tubuhku sedikit ke atas.

Pak dokter garuk-garuk kepala salting (salah tingkah), dia sempat melirik beberapa detik betis putihku yang dipenuhi bulu-bulu tipis, lucu juga untuk pria seumurnya. Sungguh aku tertantang menggoda pria seperti dia, tidak seperti kebanyakan cowo yang seumuran denganku. Terutama yang tampan dan berharta, pasti mudah kudapatan. Aku dengar dari Papi, dokter Purnomo telah ditinggal mati Istrinya 10 tahun yang lalu. Jadi, sudah 10 tahun dia menduda alias kedinginan (xixixi), kasihan khan ?.

“Diurut gimanaaa ?” tanyaku lagi dengan manja sambil membalik tubuh, sekarang kakiku yang ada di dekatnya.

“Y-ya-yaa-yaaa…di urut…” jawabnya singkat namun terbata-bata.

(Hi hi hi…dasar laki-laki, sama aja…godain lagi ah ^o^), aku tersenyum geli melihat dr. Purnomo yang bingung melempar pandangan. Melihat tubuhku salah, melihat ke tempat lain salah.

“Dokter bisa ajarin urut ‘gak ?” kataku, tidak tanggung-tanggung menarik selimut ke atas hingga setengah pahaku kini menjadi pemandangan gratis baginya.

Glek !, kudengar suaranya menelan ludah, tatapan matanya tiba-tiba berubah, sang Rubah menunjukkan ekornya. Melihat gadis belasan tahun blasteran memamerkan keindahan fisik, membuatnya merasa mubazir jika dianggurkan begitu saja.

“Ehm !” dia berdehem dan menghela nafas, lalu celingak-celinguk seperti maling.

“Dik Nia sendirian ?”.

“Uum…iya, trus gimana urutnyaa ?” kujawab cepat dan kembali menantangnya. Pak

dokter yang sudah terhasut setan mesum, duduk maju mendekatiku.

“Mari dik, kesinikan kakinya!” suruhnya mulai nekat sambil bangkit berdiri, pancinganku akhirnya mendapatkan ‘ikan’.

Kuangkat kedua kaki, dokter Purnomo duduk dan memapahnya. Dia menaruh tangan dan memberanikan diri memijat pergelangan kakiku.

(Emhh…nikmatnyaa…), mata sayuku, gigiku yang menggigit bibir bawah, jariku yang meremas sofa…seolah-olah meng-ekspresikan kata hati.

“Enak dok…Sssh..teruss, biar cepet sembuh” hasutku yang tidak perlu, karena tangannya kini semakin nakal meraba betis.

“Pijatan bapak enak ya Dik ?” tanyanya, aku menjawab dengan anggukan dan desahan yang tentu mengundang birahinya.

“Iya Pak, terus dong…enak….emhh !”, aku menggeliatkan tubuh. Dia semakin berani mengelus paha, bahkan menyentuh pangkalnya.

“Arrhh…Pak !” desahku lantang, ketika kurasakan jarinya mengelusi ‘bagian itu’.

Tubuhku menggelinjang, nafsu dokter Purnomo pun semakin naik dan tak terbendung lagi. Celana pendek beserta celana dalamku, dipelorotkannya dengan sekali tarik.

“Aawh !” aku ber-acting kaget, menutupi kemaluan dengan telapak tangan.

Melihat reaksiku yang malu-malu kucing, membuat dia semakin gemas saja. Celanaku yang sudah turun ke lutut, diloloskan dan dilemparnya jauh-jauh, seolah-olah aku tidak boleh memakainya lagi. Tanganku yang menutupi kemaluan juga dibukanya, sehingga kewanitaan yang selalu kucukur bersih itu ditatapnya nanar. Pak dokter tertegun beberapa saat memandanginya, kemudian dia berkata.
“Tubuhmu sempurna dik Nia !” gombalnya. Pipiku merona, tersanjung mendengar pujian seraya menggigit bibir bawah.

Baru saja dia hendak membenamkan wajah, terdengar pintu garasi terbuka yang artinya Pak Simin sudah kembali dari apotik, ini membuat kami mati kutu,

(Uuh, gagal deh lanjut !), keluhku, dr.Purnomo juga terlihat kecewa dikarenakan ‘nanggung’.

Kami cepat-cepat berpakaian, kembali bersikap seakan tidak terjadi sesuatu. Pak Simin masuk memberikan obat pesananku, lalu pamit ke kamarnya yang ada di belakang.
Pak Karsimin

Pak Karsimin

Aku sebenarnya ingin nekat mengajak dokter ke kamarku di atas. Namun, entah kenapa dia tersadar dari khilafnya. Pak dokter pamit pulang dengan tubuh lesu tak bersemangat. Aku tak bisa menahannya, dan malah jadi BT dengan tukang kebunku yang tak bersalah. Aku makan, minum obat dan tidur siang untuk melupakan libido yang tak tersalurkan. Menjelang sore sekitar pukul 4, aku terbangun, turun ke bawah melahap cemilan untuk menghilangkan lapar. Betul-betul manjur itu obat, nyeriku di kaki hilang total. Padahal baru saja minum sebutir, hebat memang dr. Purnomo. Tapi aah, aku jadi teringat lagi dengan beliau dan masalah libido tadi, juga BT dengan tukang kebun. Aku menuju pintu depan, biasanya jam-jam segini, Pak Simin sedang mencabut rumput, betul saja. (Awas, kubalas), dendamku, yang Pak Simin sendiri tak tau ujung pangkal permasalahan. Aku balik ke kamar, untuk persiapan perang. Kulepas bra dan celdam, kukenakan tank top berdada rendah dan celana pendek full press body. Sehingga, baik itu dada maupun vagina terceplak bentuknya. Sekiranya cukup, aku turun menuju teras depan rumah.

“Sore Non…” sapanya, seraya melempar senyum.

“Sore juga, lagi nyabut rumput yah ?” tanyaku menghampirinya.

“Iya nih, udah panjang…” sahutnya singkat.

“Oo…”, aku sengaja berjongkok di depannya.

“Uhuk ! uhuk !, Ehemm…”, Pak Karsimin merasa sesak di dada, kulihat tonjolan besar di selangkangannya. Aku tertawa menang dalam hati menyukuri.

“Mm, gimana sih…caranya nyabut rumput ? ajarin dong Pak !” pintaku, yang sebenarnya hanya bertujuan menggoda.

“Ehh…ya…iy-iYa” sahutnya tergagap, melihat vaginaku yang terceplak fisiknya di balik celana. Aku pura-pura tidak tau, kalau dia memelototinya lapar.

“Gini yah Pak ?”, tangan kananku menggenggam rumput untuk mencabut, sambil sengaja lagi mencondongkan tubuh hingga payudaraku diintipnya.

“PAK ?!”.

“Eh, iya Non ?”, Pak Karsimin tersentak kaget.

“Gimana doong ? ajarin Niaa…” kataku manja.

“O iya…gini, eh…”, dia terdiam, bingung harus mengajarkannya seperti apa, membantu bagaimana, karena aku sengaja menggenggam rumput keseluruhan. Tidak ada tempat bagi tangannya, selain harus menggenggam tanganku.

“Yaa, cabut Non !” suruhnya, tak berani meraih tanganku.

“Cabut gimana ? engga kuat !” omelku merengutkan wajah, sengaja agar dia lebih nekat.

“Y-ya udah…Non awas dulu tangannya !” sahutnya serba salah.

“Yaah, kalo Bapak yang nyabut…aku engga tau gimana rasanya dong…” kilahku.

“Udah ah, bantuin !” kataku lagi meraih tangannya yang gemetaran, menumpukkannya di pungguk tanganku.

Reaksinya mau mau malu, pasti ini pertama kalinya dia merasakan halusnya tangan gadis belia berwajah Indo.

“Ayo Pak, tariik !”, aku menggenggam rumput kencang, tapi sama sekali tidak menariknya, hanya acting agar dia yang menariknya melalui genggaman pada tanganku.

(Berhasil…hihihi), aku tersenyum, akhirnya dia berani menggenggam erat tanganku.

“Iih, Aaawhh…!!”.

“Non, ‘gak pa-pa ?” tanyanya merangkulku, karena setelah rumput berhasil tercabut, aku pura-pura jatuh dan kepalaku bersandar di dadanya. Dag ! dig ! dug !, jantungnya berdegup di telingaku.

“Engga papa, makasih ya”, aku tersenyum semanis mungkin sambil mengibaskan rambut [TP ^o^], membuat nafasnya tersendat-sendat.

Pak Simin betul-betul memandangku penuh nafsu. Jika dia tidak mengingat budi baik Papi padanya, pasti aku sudah diperkosanya habis-habisan.

“Pak Simin, liat deh…” kataku tertawa kecil seakan senang, sambil memasang wajah se-Innocence mungkin. Padahal sengaja, sedang menarik keluar seluruh syahwat yang dia miliki.

Kakinya yang berjongkok kulihat bergetar, kulirik sedikit, matanya memang sedang menelanjangiku. Ceplakan vaginaku yang paling dia pelototi, matanya seakan ingin keluar dari tempatnya. Yang kedua dadaku yang menyembul, tangan Pak Simin meremas rumput dan mencabik-cabiknya. Dia lakukan dengan tak sadar, hingga hanya rumput di sekitarnya saja yang gundul. Tangannya itu, pasti ingin melakukan hal tersebut pada payudaraku. Aku pun tak kalah horny, putingku mengeras membayangkan Pak Simin bebas semaunya melakukan hal itu padaku. Sayang aku harus jaim, namaku masih putih tak ternoda dalam kaca matanya.

“Nih Pak, Nia ke dalam dulu yaah !” kataku sembari meraih tangannya, menaruh rumput yang tercabut lalu berdiri dan pergi begitu saja.

Kurasakan tatapan matanya seakan menyorot pantatku dari belakang. Di sisi kebun yang terdapat pohon besar, aku menghentikan langkah.

“Mm, ini jamur ya Pak ?” tanyaku, merundukan badan menunggingkan pantat.

Pak Karsimin tidak menjawab, kutahu pasti dia sedang asyik memelototi body-ku dari belakang.

“IYA PAK ?!” tanyaku dengan suara keras. Menolehkan wajah ke arahnya, tetapi masih tetap nungging.

“I-iya Non !” sahutnya tergagap karena busted.

“Oo…”, aku memasang wajah selugu mungkin sambil berlalu meninggalkannya, kembali masuk ke ruang tamu.

Aku mengintip dari balik jendela yang tertutup horden, kulihat Pak Karsimin berjongkok menatap kosong, tampak sedang berpikir sesuatu. Aku yakin yang ada dipikirannya kalau tidak memperkosaku yaa, onani ^o^. Idih, ternyata betul. Kulihat tukang kebunku itu memasukkan tangannya ke dalam sarung, kemudian membuat gerakan yang tidak lain onani. Godaan berikutnya sudah kusiapkan. Kujinjing Polytron mini yang biasa kupakai menyetel musik untuk latihan Cheers, ke teras depan dimana sudah terdapat kaset di dalamnya. Kunyalakan tape dan kuputar kaset, mengalunlah lagu sexy back dari Justine Timberlake. Aku meliuk-liukkan pantat, sesuai judul seirama beat. Gerakanku jadi bukan saja gerakan cherrs, malah di dominasi gerakan erotis. Pak Simin pun jatuh terduduk, kakinya lemas. Dia terang-terangan berani memandangku, walaupun sesekali aku melenggak-lenggokkan kepala ke kiri dan ke kanan, sengaja melempar pandangan ke arahnya. Tampaknya, dia juga tau kalau aku sedang ‘pamer’, menggoda dirinya. Gila !, dia nekat mengeluarkan burungnya dan onani. Aku kini malah yang harus membuang muka, pura-pura tak melihatnya. Ternyata, dia lebih keladi dari yang kunyana.

Tubuhku semakin terasa panas, seperti ketika cheers saja, deg-deg ser namun semakin di tonton semakin merasa seksi. Aku melupakan gerakan cheers, melakukan tarian striptis. Tiang penyangga tingkat rumah berdekorasi ukiran seni, kugunakan untuk berpegangan dan berputar-putar disitu. Kudengar erangan Pak Karsimin semakin keras, kocokannya secepat kilat. Kugigit jari telunjuk, sebelah tanganku menampar-nampar pantatku sendiri, yang semakin lama semakin keras. Sama dengan desahanku, semakin lama semakin bernada tinggi ke arah menjerit orgasme. CROT CROT !!, Walaupun tak melihat langsung, kulirik sekilas Pak Karsimin ejakulasi, mennyemburkan maninya di kebun berumput hijau. Setelah aku yakin dia selesai meledakkan syahwat, aku berjalan mematikan kaset, lalu masuk ke dalam. Sebelumnya, kulihat dia hanya duduk bersila melongo ke arahku. Dia pasti bertanya-tanya apa maksudku, hanya sekedar pamer atau menggoda untuk naik ke ranjang. Kubiarkan dia dalam kebingungannya, aku cukup puas. Dari ruang tamu di balik jendela, kuintip dia sedang apa. Kulihat Pak Karsimin rebahan dengan nafas tersengal-sengal, penisnya yang cukup panjang kini tertidur lemas.

(Bangunin lagi aah hihihi…), aku bermaksud jahat.

Aku berlari ke kamar mandi, menanggalkan seluruh pakaian, hanya mengenakan handuk. Kulepit sengaja tinggi-tinggi di atas dada, sependek mungkin membungkus pahaku. Jika saja aku berjongkok seperti tadi, pasti vagina terlihat keseluruhan. Kuraih kunci mobil pribadiku, untuk berpura-pura mengambil sesuatu di sana. Aku pun keluar teras, kulihat dia masih rebahan dengan mata terpejam. Keisenganku pun menjadi-jadi, kutekan alarm mobil.

“Nguin-nguing-nguing-nguing !!”, Pak Simin terbangun kaget, kulihat dari pantulan kaca jendela mobil di halaman, aku menahan tawa sebisanya.

Kutekan alarm mobil agar berhenti mengaung, kubuka pintu dan pura-pura mengambil sesuatu. Sekiranya actingku cukup, aku keluar mobil dan menguncinya. Aku sengaja tak memandangnya, padahal kutau mata dia tak pernah mengedip dan terus menelanjangi. Masih di teras, tepat depan pintu masuk, sengaja kujatuhkan kunci ke lantai. Dimana Pak Karsimin, juga tepat ada di belakangku.

“Ups…!” aku berakting.

Kutundukkan badan untuk mengambil kunci, aku mendengar Pak Karsimin menegak ludah dengan keras, pasti vaginaku dipelototinya. Hanya segitu aksi pamerku ? tentu tidak. Masih dalam proses mengambil kunci berposisi nungging, kulepas lepitan handuk dengan gerakan yang seakan-akan tidak sengaja ketika kunci terpegang.

“Kyaaa…”, aku berakting menjerit.

“HHNNNNGGGGFFFKKHH !!!”, Pak Karsimin menahan nafas, kulirik di antara kakiku yang mengangkang penisnya mengacung konak sampai mentok ke perut.

“Iyaaaahhh…”, aku pura-pura panik.

Bukannya berjongkok mengambil handuk, aku malah berdiri dan bergerak kebingungan diantara mau mengambil handuk atau kunci mobil. Normalnya tentu mengambil handuk dahulu, tapi karena dalam masa pamer, aku bersikap demikian. Kedua tanganku menutup payudara dan vagina sekedarnya, malah jari sengaja kurentang lebar agar toket terlihat putingnya, vagina terlihat bibirnya. Saat kuambil kunci, kuraih dengan tangan yang menutup vagina. Alhasil, tentu dia melihat bodyku yang telanjang nungging, plus memek yang merekah dari belakang. Aku bangkit dan berbalik untuk mengambil handuk. Sengaja kugunakan kedua tangan, yang tentunya Pak Simin melihat tubuh telanjangku yang berkulit putih salju dari depan. Sengaja lagi aku bergerak selambat mungkin, kulirik mulut Pak Simin meneteskan liur. Kulihat dia bangkit, aku dag di dug, akankah dia nekat memperkosa ??. Aku buru-buru menutup tubuh bagian depan, berbalik badan masuk ke ruang tamu dengan bagian tubuh belakang bugil terpamer indah. Aku sengaja tidak menutup pintu, dan kembali mengintip di balik jendela. Kulihat dia masuk ke kamarnya yang ada di belakang halaman, ternyata dia lebih memiih onani. Menjelang sore, Bang Jaja pulang, pintu gerbang dibuka Pak Simin. Kuintip dari balik tirai jendela kamarku di atas, Bang Jaja berbicara sesuatu dengan Pak Simin, kulihat dia menyerahkan kunci mobil dan berlalu pergi.

Bang Jaja memang hanya supir harian, kerja jika ada Papi Mami. Selain itu, dia pulang ke rumah menemui Istri tercintanya. Pak Simin mengunci gerbang dan masuk ke dalam, dia pasti sedang menaruh kunci di laci ruang tamu.

(Wah, berduaan donk gua sama si Simin tua…), pikirku, aku pun kembali berniat nakal.

Setelah menyiapkan rencana di kepala, aku segera turun menyusul Pak Simin sebelum dia balik ke kamarnya.

“Paak ! Pak Simiiin !!” panggilku, kulihat dia hampir saja pergi.

“Iya Non, A-ada apa ?” sahutnya sedikit terbata, dia tau pasti aku akan bertingkah nakal menggodanya lagi seperti tadi siang.

“Uum, nti malem…temenin Nia makan yah, kita makan bareng !” suruhku, dan langsung naik kembali ke atas karena tak mau ditolak, pastilah dia sungkan makan bersama Nona majikan.

Dinner together

Malamnya, Bang Jaja pamit setelah mengambil kunci mobil padaku untuk menjemput Papi. Aku pergi ke kamar merias diri, tampil seseksi mungkin di depan Pak Simin. Kupakai rok mini transparan tanpa dalaman, kaus tanpa lengan berwarna hitam tanpa bra. Kulentikkan bulu mata, kuhias eyes shadow blue dan kuoles tipis bibir dengan Lippgloss pink. Sejam sebelum jam makan, kutelpon KFC untuk order delivery. Selesai berdandan, aku menuruni tangga melingkar rumah. Pak Karsimin terpana dengan apa yang dilihatnya, dandanan-ku tentu tak normal untuk makan malam, untuk ke ranjang sih iya. Mulutnya terus ternganga, aku tersenyum semanis mungkin ke arahnya. Dia menyeka mulutnya yang tak terasa mengalir liur, aku tertawa menang dalam hati. Sambil menunggu orderan datang, aku mengajaknya nonton bersama di ruang tengah. Karena Home theater, tetap enak tertonton walaupun Tv-nya jauh. Pak Simin duduk bersila di lantai, sedang aku duduk di sofa panjang, tempat aku biasa tiduran. Aku sedang berpikir keras, bagaimana cara aku menggodanya.

(Hmm…o-ya, begitu saja…), pikirku.

“Pak, nontonnya disini aja…dingin khan” kataku menepuk sofa di sampingku, seraya memasang wajah polos tak berdosa.

“Engga papa Non…Bapak udah biasa !” sahutnya, matanya melirik pahaku karena aku duduk mengangkat kedua kaki.

“Aah, aku khan kehalangan kepala Bapak nontonnya !” aku berkilah.

“Ooh, maaf Non !”, dia menggeser duduknya.

“Percuma Pak kalo Bapak masih disitu…disini aja Ahh !” aku memaksa dengan wajah cemberut.

Tak enak takut aku marah, Pak Simin pun bangkit. Sebelum bangun berdiri, kulihat dia membetulkan sarungnya, juga ketika berjalan menuju sofa. Tampak dia menekan-nekan selangkangannya yang menonjol itu.

(Oo, udah ngaceng toh hihihi), pikirku jahat dalam hati.

Dia pun duduk di sofa, kini kami dalam sofa yang sama, hanya dia di ujung aku di ujung. Aku melayangkan pandangan ke TV, sedangkan Pak Simin tidak konsen.

Kulonjorkan kaki kearahnya, memamerkan putih…mulus dan jenjangnya. Sesekali, aku menekukkan kedua belah kaki, terkadang sebelah melonjor sebelah terlipat. Jadilah Pak Simin, posisi menghadap ke TV, namun mata melirik ke diriku punya body. Dengan nakal aku sengaja menggaruk-garuk paha, sambil menggeser dikit demi sedikit rok mini. Hingga jika dilihat dari samping, pantatku dapat dinikmati. Kulirik, mata kanan Pak Simin memang miring ke samping, selangkangannya semakin menonjol saja. Sayang kepuasan matanya hanya sampai sini, karena bel berbunyi, tanda pengantar makanan telah datang. Pak Simin ke depan untuk menyambut dan membayar. Kami pun ke ruang makan, aku belum kehabisan akal untuk mengerjainya. Kuatur posisi bangku agar dia ada di sampingku, untuk kosodori ‘paha’. Pak Simin tak berdaya, kubuat konak tanpa bisa merasakan hangat vagina. Aku makan ayam bagian dada mentok, sedang dia kukasih paha. Aku duduk bersila di atas bangku, membuat Pak Simin sering menelan ludah. Sudah beberapa kali dia minum, karena tenggorokannya terasa kering.

“Enak Pak pahanya ?” tanyaku padanya tiba-tiba sekalian menyindir.

“E-enak Non…enaak” sahutnya tergagap, busted.

“Mbok Siti ko’ belum pulang ya Pak ? tadi sih ijin, pergi kemana sih ?”, kuajak dia berbicara, agar exibisionis terasa lebih santai.

“I-i-iya, Bapak lupa nyampein…dia kesini besok shubuh, lagi ada perlu sama kakaknya yang ada di Cengkareng…keponakannya sakit keras !” sahutnya, dengan mata masih saja jelalatan.

“O…Eii !” kujatuhkan sendok ke samping, aku menunduk sengaja menungging, pantatku pasti dipelototinya.

KRAUK !!, “Wadaw…” teriak Pak Simin, aku menoleh penasaran.

“Kenapa Pak ?” tanyaku, melihat dia memegang pipinya.

“A-anu, kegigit tulang Non…” jawabnya mengeluh.

(Rasain ! lu sih mata keranjang, bukan ngeliat paha ayam malah ngeliat paha gw), pikirku senang, sukses mengerjainya lagi.

“Ati-ati Pak !” suruhku, tetapi kembali pamer melipat kaki di atas bangku.

Biasanya, Pak Simin makannya cepat, kali ini aku juara satu. Kurapikan bekas makanan, dan menaruh piring di tempat cucian yang tak jauh.

“Aku duluan ya Pak, temenin Nia nonton lagi lho…” kataku tersenyum manis bertingkah manja, hidungnya langsung keluar ingus.

Aku berjalan meninggalkan dirinya, sambil melenggak-lenggokan pantat. Sesampainya di ruang tamu, kunyalakan Tv dan nonton di sofa menunggunya.

(Mudah-mudahan saja, dia selesai sebelum Papi datang…), harapku.

Grope, while sleeping

Kudengar suara langkah kaki, rupanya dia telah selesai. Aku langsung pura-pura tiduran menekuk kaki di sofa. Kurasakan sekali, matanya menelanjangiku. Pasti dia bingung mau bagaimana. Tapi akhirnya, Pak Simin duduk juga di tempatnya tadi duduk.

“Eh !!”, Pak Simin kaget, karena tiba-tiba aku meregangkan tubuh melonjorkan kaki dan menaruh di pangkuannya, membuat dia makin salting saja.

Kurasakan di betis yakni selangkangannya meninggi, dia makin konak Yes !!. Pak Simin menepuk-nepuk telapak kakiku, memanggil namaku untuk mengetahui keadaanku.

“Non, Non Niaa…” dia membangunkanku, namun aku sengaja seperti ini.

Lama kelamaan dia menyerah juga, yang kunanti-nanti datang juga. Tangannya ditaruh di betisku, lalu digesek-gesek untuk merasakan halusnya. Melihat reaksiku Nol, dia semakin ketagihan. Jarinya bergerilya menelusuri paha, sampai meremas pantatku kecil-kecil. Dengan hati-hati, dia mengangkat rok-ku, berniat memuaskan mata melihat isinya.

“HHNGGKH !!”, Pak Simin sesak nafas, dia spontan menyingkap rok-ku sepinggang.

Tubuhku dimiringkannya, sebelah kakiku diangkat dan dipapah ke bahunya. Seketika kurasakan dengus nafas yang menderu, menerpa belahan kemaluanku.

Sniff ! Sniff !!, dia mengendus wangi vaginaku.

Leeeepph !!, sebuah jilatan panjang yang telak di memek tiba-tiba, membuatku tak kuasa menahan desahan.

“Aaaaaaaahh…”, kuintip Pak Simin menyeringai melihat reaksiku. Pria seumurnya, tentu tidak hijau dalam masalah seks. Dia pasti tau kalau aku hanya pura-pura tidur, sengaja menjerumuskan godaan sampai ke hal ini.

Pak Karsimin tertawa cekikikan seperti orang gila tiba-tiba, selanjutnya dia melahap dan menjilat kewanitaanku bagai maniak seks, rakus sekali. Suara seruputan sampai-sampai mengalahkan suara Tv, hal ini menjadi boomerang terhadapku.

(Shit, enak bangeet…), dalam hatiku, tubuhku menggelinjang nikmat tak karuan.

“Sluuurph memek bule…Shrrrrrph Aaaahh, gurih…enak !!” celotehnya.

Senjata makan Nona buatku, aku menyiksa birahi diriku sendiri. Kutahan desahan sebisa mungkin, kugigit bibir bawah untuk menutup suara keluar.

“Emmh…!” aku tersiksa, gairahku meletup-letup, namun tak bisa ku-expresikan. Baik itu melalui desahan, maupun jambakan tangan pada kepala si penyeruput.

Aku hanya bisa mengapit kepalanya karena geli-geli enak, yang percuma karena akan kembali dibentangkan lagi olehnya. Pak Simin menambah serangan, menggerepeh paha dan meremas pantatku. Jarinya dicelup-celupkan ke liang senggamaku yang sudah becek, hingga membuahkan bunyi, Clek..clek..clek..clek !!

“Emmmhh…AAAAAAAAAAAAHHHHH…SSSSHHTT !!” aku orgasme dengan mata terpejam, dan kaki mengapit keras kepalanya.

Kulupakan sejenak status kami, tak peduli bahwa dia adalah tukang kebunku. Yang jelas, mulutnya yang rakus memek itu, berhasil membuatku orgasme. Kenikmatan berganda, di kala orgasmeku yang belum mereda, adalah emutan panjang di bibir vagina. Tubuhku mengejat-ngejat nikmat, Pak Simin tertawa sinting menyaksikan kekalahanku. Mataku masih terpejam, namun dadaku naik turun karena nafasku tersengal-sengal. Dia mengelus-elus pahaku, bangga dengan kemenangannya menaklukanku, dimana aku munafik untuk mengakuinya. Pak Simin melepaskan diri, kuintip dia rupa-rupanya sedang menanggalkan sarungnya. Ternyata, diapun tanpa dalaman, penisnya yang mengacung kini mengincar vaginaku.

(Shit ! gimana niih…?!), pikirku kebingungan.

Maksudku tidak sampai sejauh ini, tidak sampai bersetubuh. Bisa saja aku bangun dan kemudian berakting mengomelinya. Tapi…aku akan gagal mendapatkan kenikmatan berikutnya. Kenikmatan yang lebih nikmat daripada tadi, masuknya penis ke vagina. Selagi aku masih bingung, Pak Simin sudah mengambil posisi mendekati kewanitaanku. Dia kembali memiringkan tubuhku, lalu berjongkok disana. Dipapahnya kakiku sebelah di bahunya, agar lebih mudah memasuki milikku. Aku bingung, Pak Simin melekatkan penis dan bergerak menggesek kewanitaanku. Aku mendesah lirih, sepertinya, aku menyerah saja pada kenikmatan yang terlalu sayang untuk ditolak. Dia membuka lebar bibir kemaluanku, penisnya telah tepat mengarah kesitu.

(Ayo Pak ! setubuhi aku, senggamai aku sampai aku kelojotan bahkan hingga sakit jika jalan…penuhi liangku dengan mani-mu, acak-acak dalamnya sesukamu…entot aku, perkosa aku…milikku adalah milikmu…), dalam hatiku lebai, sudah kepalang horny. Namun sayang, sial bagi kami.

Din Diiiin !!, klakson mobil yang berarti Papi telah pulang.

(Shit ! tanggung banget sih datengnya !!), keluhku, Pak Simin juga bersungut-sungut.

“ADUH !! MEMEK DEPAN MATA, TINGGAL SODOK, WUEDYAAN !!!” omel Pak Simin kesal, gagal maning-gagal maning.

Aku saja yang sudah dapat klimaks sekali merasa tanggung, apalagi Pak Simin. Dia menggebrak-gebrak sofa seperti orang STRES !!, aku memakluminya. Penisnya belum rejeki atas vaginaku, belum jodoh. Pak Simin dengan cepat mengenakan sarung, lalu pergi meninggalkan diriku. Setelah dia keluar, barulah aku segera naik ke atas untuk melepas pakaian dan membersihkan diri dengan mandi susu. Selesai mandi, aku ke kamar Papi untuk menyapanya. Papi sempat bertanya aku tadi dimana sewaktu beliau datang, aku menjawab yang kebetulan tidak perlu berbohong bahwa sedang mandi. Papi hanya menggangguk, aku pamit tidur dan balik ke kamar.

|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||

Esoknya, aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Aku segera mandi dan sarapan. Lalu menuju kamar Papi. Pintu kamarnya tampak terbuka, dia sedang beres-beres untuk ke Swedia menyusul Mami. Aku masuk dan memeluknya manja dari belakang, karena akan berpisah dengannya kurang lebih seminggu. Papi tertawa, meledek aku yang sudah besar tapi masih seperti anak kecil. Walaupun dia memaklumi karena aku anak satu-satunya dan perempuan pula. Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.

“Maaf tuan…Pak Hasan sudah datang !” kata suara yang rupanya mbak Siti, dia kembali ke dapur. Raut wajahku pun langsung berubah, Papi memandangku dengan wajah penuh tanda tanya.

“Kenapa Non ?” tanya Papi meledek.

Biasanya Papi menggunakan panggilan ‘Non’ kalau sedang ingin bercanda, aku merengut manja menatapnya.

“Sudahlah, jangan terlalu marah sama dia…khan engga sengaja bikin ubin kamar mandi jadi rusak !” nasihat Papi.

(Bukan itu piii…aduuhh !!), keluhku dalam hati.

“Yuk ke bawah…” ajaknya, kami pun menuju ruang tamu.

Aku melihat Pak Hasan dan Asep sedang duduk di sofa, melempar senyum tanpa dosa ke arah kami.

“Apa khabar Pak ?” sapa Pak Hasan mengawali, menawarkan jabatan tangan.

“Ya, ya baik…berduaan aja ?” sahut papi menyambut jabatan tangan.

“Iya…khan yang musti diperbaiki engga banyak, jadi tukang satu…kernet satu, cukup !”.

“Oh gitu, ok silahkan duduk !”.

“Trimakasih, Non Nia juga gimana khabarnya ?” tanya Pak Hasan padaku sok ramah.

“Baik !!” sahutku ketus, mereka tertawa yang maksudnya hanya aku dan mereka yang mengerti, sementara Papi tidak.

Kemudian Papi dan kedua kuli gila seks itu membicarakan mengenai biaya perbaikan. Setelah selesai dan terjadi kesepakatan, Papi dan pak Hasan kembali berjabat tangan. Mereka menawarkan jabatan tangan juga padaku, namun aku menolaknya. Papi tertawa sambil mengelus-elus punggungku, ia menyangkanya aku marah karena kakiku yang terluka. Padahal bukan itu, tetapi hal yang lebih besar lagi. Mereka tertawa seolah-olah memaklumi, padahal sebaliknya. Mereka akan semakin bergairah dalam menyalurkan dendam birahi jika ada kesempatan menyetubuhiku. Pria macam mereka, semakin kami wanita menolak galak melawan, malah semakin bernafsu gila.

“Nia, Papi berangkat dulu yah !” pamitnya mengelus sayang rambutku.

Aku mencium pungguk tangannya, kuantar dia ke mobil. Papi bilang akan men-transfer uang jajan di jalan ke rekeningku. Aku langsung tersenyum manis senang, Papi mencubit pipiku gemas.

“Mbok, aku jalan dulu…titip Nia !”.

“Tuan…anu maaf, saya baru dapat khabar…keponakan saya yang sakit keras…me-me-meninggal Tuan !!”.

“Ya Tuhan…aku turut berduka mbok” sahut Papi.

Aku yang dekat dengan mbok Siti karena anak tunggal, bergerak mendekatinya dan mengusap-usap punggungnya, larut dalam duka nestapa bersama.

“Iya tuan trimakasih…jadi, saya mau izin seminggu !” kata mbok Siti seraya menyeka air mata.

“Ya-ya, engga papa…” jawab Papi mengambil dompet di kantung belakang celananya, lalu mengeluarkan beberapa lembar ratusan ribu untuk diserahkannya ke Mbok Siti.

Mbok Siti menerima pemberian, mengucapkan terima kasih dan pamit lebih dahulu. Aku meneruskan jalan bersama Papi ke parkiran, Jaja membukakan pintu belakang mobil, Pak Karsimin menggeser pintu gerbang.

“Pak Simin, titip Nia yah !” teriak Papi pada si tukang kebun pervert berumur.

“Beres tuan, hehehe…” sahutnya, yang kemudian menyeringai ke arahku.

(Shit, jangan-jangan dia mau lanjut yang kemarin…), dalam hatiku.

Mobil Papi pun melaju meninggalkanku. Kini, tinggalah aku bersama Pak Simin dan dua kuli pemerkosa.

“Aku ke dalam ya Pak…”.

“Iya Non, Bapak juga nerusin kerjaan nih sebentar lagi…nanti juga Jaja pulang abis anter Tuan, Non kalo ada perlu apa-apa cari aja saya di belakang yah !” terangnya.

Aku mengangguk dengan hati yang lega. Setidaknya, dia akan menjagaku dari niat jahat dua kuli itu. Aku kembali ke ruang tamu, Pak Hasan dan Asep tampak sudah memulai pekerjaannya di kamar mandiku yang ada di atas karena bising suara pukulan palu. Kunyalakan Tv tidur selonjoran di sofa, memakai celana pendek dan kaus tanpa lengan. Betul saja dugaanku, tak berapa lama Pak Simin mendatangiku. Menurut laporan penis, vaginaku masih punya saldo hutang birahi.

(Shit, si tua bangka muka memek dateng nyari gw mau ngentot…), keluhku.

Sayang waktunya tak tepat, aku sedang tidak mood. Mana ada dua orang yang kubenci lagi, aku terpaksa harus tegas menolaknya.

“Non Nia, lagi nonton ?” tanyanya sambil tersenyum mesum.

“Iya…” sahutku ketus singkat, berharap dia pergi karena tak tega aku menolaknya.

“Bapak temenin yah…” katanya dengan cengiran, hingga giginya yang hitam dan mulai ompong itu terlihat olehku.

“Engga usah Pak kali ini…” sahutku memberinya kode, namun dia terlalu udik untuk mengerti.

“Oo ya udah…” balasnya langsung terdiam, aku jadi semakin tak enak.

“Non engga senam lagi kaya kemaren ?” tanyanya lagi tiba-tiba tak menyerah.

Aku tau dia memancing, tapi ada Pak Hasan yang membuatku BT dan tak mungkin aku melakukan hal kemarin ada dia. Secara tak langsung, Pak Simin menyudutkanku. Serba salah dan tak mungkin kujelaskan masalahku, Papi saja tidak tau.

“Ada tukang bangunan khan Pak, engga mungkin sekarang-lah…Nia malu donk, udah Bapak keluar deh jangan ganggu Nia dulu !” kataku telepasan ketus, Pak Simin terlihat kecewa dan sedikit marah dari guratan di wajahnya.

Dia bangkit dan berjalan cepat meninggalkanku, aku merasa bersalah jadinya. Habis, harus bagaimana lagi ?. Sementara ini, Pak Simin pasti berpikiran bahwa aku hanya mempermainkan dirinya. Seharusnya aku langsung minta maaf padanya. Dalam masa kalutnya hati dan pikiran, mataku kriyep-kriyep, kata orang sih tidur ayam. Beberapa menit kemudian mataku gelap dan memetik kembang tidur. Aku bermimpi, mimpi kedatangan dua pria tampan. Keduanya bergerak menelanjangi dan menggerayangiku. Melihat ketampanannya aku pasrah, satu pria menciumi pipiku penuh nafsu, satunya menggerayangi pahaku dengan gencar. Tapi aneh ? cumbuan mereka kasar sekali, tidak sesuai dengan wajah, tidak romansa dan tak senada. Pria yang menciumi pipi, sekarang menghisap payudaraku. Pria satunya yang menggerayang paha, melahap rakus kewanitaanku. Keduanya lapar dan dahaga, walau tak kupungkiri aku menikmatinya. Kuangkat kelopak mata sedikit demi sedikit.

(Aah, kenikmatan ini nyata…tapi, mana ada pria tampan ? di rumah semuanya pria buruk muka ?!), aku tersadar dengan mata terbelalak.

(AAAARGHH…SHIIITT !!!).

Jam enam sore di gedung perkantoran berlantai 20 itu terlihat mulai lenggang, banyak karyawan kantor sudah pulang, yang tersisa hanya mereka yang lembur, satpam yang menjaga gedung, dan para petugas kebersihan yang menyelesaikan pekerjaannya. Zuhri adalah salah satu di antaranya, ia adalah office boy yang bekerja di kantor itu. Ia sedang mengumpulkan sampah-sampah di lantai 12 ke dalam bak sampah dorong sambil bersiul-siul kecil. Ketika sedang bersih-bersih di sebuah ruangan yang disekat partisi, matanya diam-diam mencuri pandang pada seorang gadis cantik yang sedang sibuk di depan komputernya sambil mengobrol lewat ponselnya. Gadis itu bernama Arline, 24 tahun, salah satu staff accounting di perusahaan asuransi yang terletak di lantai 12 itu, saat itu ia sedang menyelesaikan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi. Sudah sering Zuhri melongo dan menelan ludah karena pesona kecantikan Arline, apalagi gadis itu sering memakai baju seksi di kantor. Hari itu Arline memakai kemeja putih lengan pendek di balik blazernya dipadu rok biru tua yang menggantung sejengkal di atas lutut. Pahanya yang ramping dan mulus itu dibungkus stoking transparan yang senada dengan warna kulitnya. Zuhri merasakan celananya semakin sesak saja ketika lewat di depan gadis itu yang tersenyum basa-basi padanya.
Arline

Arline

“Idiihhhhh” wajah Zuhri mendadak berubah saat ia memalingkan wajahnya ke depan, Mpok Minah tersenyum lembut kepadanya, kemungkinan besar Mpok Minah Naksir berat pada Zuhri, wajah Mpok Minah yang berbanding terbalik dengan Arline, bagaikan langit dan bumi, bagaikan hitam dan putih, yin and yang, membuat Zuhri bergidik membayangkannya

“Nasib…nasib…barang bagus tapi cuma bisa dipelototin aja!” keluhnya dalam hati.

Zuhri merasa bagai pungguk merindukan bulan, tentu saja dengan tampang yang jauh di bawah standar, wajah ndeso dengan bibir tebal juga kocek yang untuk menghidupi diri sendiri saja kadang setengah mati, mana mungkin bisa mendapatkan gadis cantik berpendidikan seperti Arline. Di usianya yang sudah menginjak 31 tahun, Zuhri belum pernah berpacaran, karena sifatnya yang pendiam dan susah bergaul itu. Paling banter dulu di kampungnya pernah dekat dengan seorang gadis, tapi gadis itu pun akhirnya menikah dengan pria lain pilihan orang tuanya. Ia ke ibukota untuk mengubah nasib dengan mendapat uang lebih banyak tapi nyatanya seperti lagu “siapa suruh datang Jakarta”.

Ia menghela nafas pelan sambil membuka bak sampah dorongnya dan menuangkan sampah dari tong sampah dari bawah sebuah meja. Sebelum menutup kembali tutup bak sampah itu, mendadak matanya tertumbuk pada sebuah benda berwarna merah mencolok.

“Eh apaan tuh?” tanyanya dalam hati

Zuhri meraih benda itu dari antara tumpukan sampah-sampah lain, ternyata adalah sebuah dildo berbentuk aneh, ujungnya berbentuk kepala babi. Batangannya yang sepanjang kurang lebih 25cm terbuat dari bahan karet yang lembut.

“Wew…kok bisa ada barang ginian ya?”

Setelah membersihkan ruangan itu, Zuhri tidak segera turun ke bawah, ia ke ruangannya terlebih dulu untuk minum dan istirahat sebentar. Dinyalakannya TV kecil di ruangan itu, di TV nampak Grace Natalie sedang mewawancarai Ali Muchtar Ngabalin, anggota DPR yang pro UU Pornografi.

“Kapan gua diwawancara sama Mbak Grace ya!” katanya dalam hati menatap wajah cantik salah satu pembawa berita favoritnya itu.

Ketika iklan, Zuhri mengeluarkan dildo aneh tadi dari saku celananya dan diamat-amatinya sejenak.

“Hehehe…jangan-jangan punya si nenek sihir Selmy itu” ia nyengir-nyengir membayangkan Bu Selmy, salah satu staff senior yang galak dan suka ngomel-ngomel terhadap siapapun yang kerjanya tidak sesuai keinginannya, ya namanya juga perawan tua, mau apa lagi coba?

Iseng-iseng Zuhri menekan tombol yang terletak di bawah dildo itu dan bbbzzzzz…..benda itu pun bergetar.

“Weis…masih jalan lagi!”

Namun tiba-tiba getaran benda itu makin keras saja seperti alat pengebor jalan sehingga Zuhri pun sampai kaget dan benda itu terlepas dari genggamannya saking kuatnya getarannya. Ketika jatuh ke lantai, bles…tiba-tiba seberkas cahaya yang sangat menyilaukan membuat Zuhri tidak kuat hingga harus menutup matanya dengan kedua tangan.

“Buset…alamak…apaan nih!?” ia sampai jatuh ke lantai karena kaget.

“Huahahaha….!” tiba-tiba terdengar sebuah suara tawa

“Heh…sapa lo? Mahluk apaan lo?” Zuhri melongo dan menunjuk-nunjuk pada pria berkostum aneh yang muncul di hadapannya itu.

Pria kurus tinggi itu memakai kostum yang eksentrik, sebuah setelan ketat yang dadanya terbuka sehingga menunjukkan bulu-bulu dada dan tulang-tulang yang tercetak di kulitnya, juga memakai topeng merah dan kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya, hanya bagian mulut yang terlihat yang dihiasi kumis dan jenggot tipis.

“Wahahaha…kenalin gua Jin Dildo hahhaa!” pria aneh itu memperkenalkan diri tanpa berhenti tertawa.

“Apa? Jin…Dildo? Jadi lu berasal dari barang itu?” tanya Zuhri yang masih terheran-heran sambil memandang dildo babi yang tergeletak di lantai.

“Yo’i….tepat sekali, kaya jin lampunya Aladin itu loh, cuma kalau gua dari dildo” jelasnya.

Zuhri mencubit-cubit pipinya sendiri masih tidak percaya dan mengira ini hanyalah mimpi. Bisa-bisanya di jaman serba komputer begini ada jin-jinan, jin dildo pula, benar-benar konyol sehingga ia belum mempercayai pengelihatannya sendiri. Dengan menggunakan jari telunjuk Zuhri mencoba mencokel belek di sudut matanya, ajib benar, Jin Dildo masih berdiri di tempatnya, berarti ini bukan halusinasi..!!

Jin Dildo

Jin Dildo

“Karena kamu telah mengeluarkan saya, maka saya juga akan memberikan kamu satu permintaan” lanjutnya dengan gaya bicara yang aneh.

“Hahaha…bener nih? Kalau gitu gua minta duit setrilyun bisa dong?” Zuhri masih belum percaya dan memandang sinis pada pria itu.

“Wah-wah-wah…bukan permintaan seperti itu” katanya lagi, “kalau kamu minta duit, minta jadi penguasa dunia, minta hidup abadi, itu sih saya gak bisa”

“Yeee…katanya jin bisa ngabulin permintaan, taunya cuma jin karbitan” Zuhri melambaikan tangan dengan wajah sinis pada pria aneh itu.

“Wowowo…denger dulu dong coy, gua tuh cuma bisa ngabulin permintaan tentang seks, jadi fantasi seks setiap orang yang ngeluarin gua, gua sanggup mewujudkannya!” terangnya sambil tangannya ikut bermain seperti pelawak pantomim.

Zuhri bengong menatap pria yang mengaku jin itu. Ia tak percaya mendengar pengakuan

pria itu. Bisa-bisanya dia membual dapat mewujudkan fantasi seks orang yang membebaskannya dari dildo aneh itu, ini semua hanya ada dalam dongeng anak-anak, pikirnya.

“Jadi kamu masih belum percaya? Gimana kalau saya buktikan dulu?” tantang pria aneh itu, “nah liat tuh si penyiar berita cantik itu, kamu pengen kan ngeliat dia ngeseks di depan layar waktu bawain berita?” tanyanya.

“Wahaha…pengen banget lah, tapi cuma mimpi kali yee!” kali ini Zuhri tertawa geli mendengarnya karena hal itu adalah mustahil.

“Tekk…” Jin Dildo menjentikkan jarinya dan senyum lebar di wajah Zuhri segera memudar berganti melongo memandang layar televisi.

————————————————
Grace Natalie vs Ali Muchtar Ngibulin

Grace Natalie vs Ali Muchtar Ngibulin

……..

“Oke baik Pak…sekarang ini kan batasan mengenai pornoaksi sendiri itu kan masih belum jelas, nah, kalau menurut Pak Ali sendiri yang dimaksud pornoaksi itu yang seperti apa aja sih Pak?” tanya Grace Natalie pada pria bersorban dan berjenggot itu mengenai UU yang kontroversial tersebut.

“Aaahh…baiklah mengenai hal yang satu ini saya akan berikan contoh konkritnya” jawab Ali Muchtar Ngabalin sambil mendekatkan duduknya ke arah Grace yang mewawancarainya.

“Yang seperti ini Mbak bisa dikategorikan sebagai pornoaksi” lanjutnya sambil meletakkan tangannya di paha Grace dan bergerak menyingkap rok hitam selututnya hingga paha mulusnya terlihat, “juga yang seperti ini” tangannya yang satu meraih payudara kiri Grace dan meremasnya dari balik blazernya.

“Pak…tolong jaga tingkah Bapak, kita lagi siaran!”, kata Grace tegas, tapi anehnya dia membiarkan tangan pria itu tetap mengelus-elus pahanya, wajah cantiknya terlihat merona merah, matanya makin sayu

“Pak ini…mmmm!” Grace hendak berdiri dan menyentaknya, namun Ali Muchtar dengan sigap mendekap tubuhnya dan memagut bibirnya dengan ganas.

Anehnya Grace malah menyambut pagutan pria itu dengan tak kalah agresif. Kamera mendekat dan menfokuskan ke arah mulut mereka sehingga lidah mereka yang saling membelit terlihat jelas di layar kaca. Tanpa melepas cumbuan, tangan Ali Muchtar mempreteli satu-satu kancing baju Grace sehingga menyembullah buah dada penyiar berita cantik itu yang masih dibungkus bra hitam berenda. Grace yang sudah larut dalam birahi menggerakkan tangannya melepaskan pakaian luarnya yang telah dipreteli kancingnya sehingga dari pinggang ke atas ia hanya tinggal memakai bra. Ali Muchtar menarik turun cup bra yang sebelah kiri lalu mulutnya yang tadinya mencium bibir Grace dengan cepat berpindah ke payudaranya yang sudah terbuka. Tangannya yang lain dengan lincah menarik turun resleting roknya lalu meloloskannya dari paha jenjang wanita itu.

“Nah kalau yang ini namanya pornografi yaitu mempertontonkan aurat di depan umum” kata Ali Muchtar sambil menjilat puting Grace yang berwarna coklat, saat itu kamera terfokus pada wajahnya yang tengah mesum itu.

Grace mendesah-desah dengan wajah menengadah merasakan kenikmatan yang menjalari tubuhnya. Tangannya lalu menurunkan jas pria itu. Setelah itu ia membiarkan tubuhnya dibaringkan pria itu pada sofa, lalu pria itu melepaskan kancing branya yang terletak di dada. Kini payudara Grace terekspos jelas, kedua gunung kembar itu nampak naik turun seirama nafas pemiliknya yang memburu. Penyiar berita cantik itu kini tinggal mengenakan celana dalam dan sepatu haknya. Pria bersorban itu menyeringai mesum menatap tubuh mulus Grace. Ia membuka sabuknya dan menurunkan resleting celananya sendiri.

“Sekarang saya akan peragakan bagaimana kaum pria juga bisa dikenai pasal undang-undang ini” katanya sambil membuka celana

Grace tampak terhenyak melihat penis Ali Muchtar begitu benda itu menyeruak keluar dari balik celana dalam pria itu. Ukurannya termasuk besar dengan kepala bersunat, bulu-bulunya juga selebat janggut yang tumbuh di bawah mulutnya. Pria itu meraih tangan Grace menggenggam penisnya yang telah ereksi itu, ia turun dari sofa dan berdiri di hadapan Grace.

“Kalau ini dikategorikan pornoaksi, melakukan aksi yang membangkitkan nafsu birahi di depan umum” katanya sambil membawa wajah cantik Grace ke selangkangannya, kepala penis pria itu tinggal berjarak 1 cm saja dari bibir Grace.

Tahu apa yang diinginkan si anggota dewan ‘yang terhormat’ itu, Grace mulai menjilati dan menghisap penis itu dengan bernafsu. Kamera mendekat ke wajah cantiknya mensyuting wajah penyiar berita cantik itu yang sedang melakukan oral seks, pipinya tampak menggelembung karena kepala penis pria itu. Ali Muchtar mendesah keenakan, gairahnya semakin meledak terutama ketika matanya bertemu mata Grace yang sesekali memandang ke atas.

“Uuuhh…sepongan Mbak Grace emang top banget!” lenguh pria bersorban itu keenakan.

Sambil mengulum penis itu, Grace juga meremas-remas payudaranya sendiri, dari mulutnya terdengar gumaman tak jelas. Tak lama kemudian tangan kirinya yang meremas payudaranya itu merambat ke bawah dan masuk ke celana dalamnya, satu-satunya kain yang tersisa di tubuhnya. Nampak tangannya bergerak-gerak di balik celana dalam hitam itu.

Ali Muchtar, yang makin merem-melek menahan nikmat, menarik lepas penisnya dari mulut Grace sebelum ejakulasi dini. Ia kembali duduk di sofa dan mendekap tubuh mulus Grace.

“Sudah jelas kan mengenai apa itu pornografi dan pornoaksi itu?” tanya Ali Muchtar sambil menciumi payudara Grace yang montok.

“Iyah Pak…aahh…jelasshh!” desah Grace dengan mata terpejam karena pria itu menyedot-nyedot putingnya.

Ia nampak pasrah ketika tangan pria brewok itu menarik lepas celana dalamnya bahkan menggerakkan kakinya seolah membantu pria itu menelanjanginya. Kini tubuh Grace Natalie, sang penyiar berita cantik itu sudah tidak tertutup apa-apa lagi. Ali Muchtar lalu menaikkan kaki kanan Grace ke sofa kedua belah pahanya mekangkang dan memperlihatkan vaginanya yang ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat.

“Nah…menunjukkan alat kelamin di depan kamera seperti ini juga bisa disebut pornoaksi” kata Ali Muchtar sambil menunjuk vagina Grace yang disorot kamera.

“Sekarang saya tunjukkan juga kegiatan lain yang bisa dikenai pasal pornoaksi misalnya begini…” jelasnya sambil menempatkan diri di antara kedua paha wanita itu, satu tangannya memegangi penisnya untuk diarahkan ke vagina yang sudah basah itu. Kepala penis yang mirip jamur itu pun menyentuh bibir vagina Grace, namun pria itu tidak segera memasukkannya, ia menggesek-gesekkannya terlebih dulu sehingga penyiar cantik itu menggeliat dan mendesah karena rasa geli yang nikmat.

“Masukin Pak…aaahhh…saya mohon!” desahnya sambil meremasi payudaranya sendiri.

Ali Muchtar menyeringai melihat reaksi Grace, wajahnya yang sudah seperti bandit padang pasir itu semakin terlihat memuakkan dengan senyum mesumnya itu. Saat itu barulah ia menekan penisnya hingga memasuki vagina Grace. Penyiar cantik itu pun membeliakkan mata dan mendesah, penis pria berjanggut itu semakin dalam memasuki vaginanya dilanjutkan dengan gerakan menyodok. Mula-mula sodokan itu cukup lembut, namun sodokan-sodokan berikutnya semakin keras dan cepat sehingga sepasang payudara Grace ikut bergoncang-goncang mengikuti sentakan tubuhnya.

Ali Muchtar terus memompa vagina Grace, tangannya makin kuat meremas-remas payudara wanita itu. Kamera kini menangkap wajah Grace yang tengah mengap-mengap mengeluarkan desahan nikmat, ia terlihat makin menggairahkan dengan ekspresi seperti itu apalagi kedua pipinya yang putih bersemu kemerahan menahan rangsangan. Sepuluh menit kemudian, pria itu melepas penisnya dari vagina Grace kemudian ia membaringkannya menyamping menghadap kamera. Paha kiri penyiar cantik itu ia angkat dan sangkutkan ke bahunya. Setelahnya kembali ia masukkan penisnya ke vaginanya, kali ini nampak lebih mudah karena lubang intim itu sudah sangat basah. Pria itu melanjutkan genjotannya, dengan posisi demikian ia dapat merasakan pahanya yang berbulu itu bergesekan dengan paha mulus Grace. Ia menggelinjang dan mendesah setiap kali anggota dewan itu menyentakkan pinggulnya, tangannya kadang meremasi sofa dan kadang meremas payudaranya sendiri. Genjotan itu makin lama makin kuat, akhirnya Grace dilanda orgasme hebat, pinggangnya sampai melengkung seolah mengekspresikan nikmat yang amat sangat itu. Beberapa kali tubuhnya tersentak sentak sampai akhirnya melemas, kakinya yang melejang-lejang sampai pria itu harus memeganginya dengan kuat agar tidak tertendang. Namun ia masih menggenjotnya dengan bersemangat hingga sekitar lima menit kemudian. Ali Muchtar mencabut penisnya dari vagina Grace lalu dengan agar buru-buru ia berdiri di dekat wajah wanita itu.

“Crett…crett…aaaahhh!” desahnya sambil menyemprotkan spermanya ke wajah Grace yang telah terkulai lemas di sofa.

Cairan putih kental itu menyemprot deras bagaikan kilang minyak, bercipratan membasahi wajah cantik itu. Grace membuka mulutnya membiarkan cipratan itu masuk, rambutnya yang hitam pendek itu juga terkena cipratan sperma. Setelah semprotannya reda, Grace meraih penis itu lalu menjilati sisanya yang masih menetes pada kepala penis itu. Ali Muchtar mendesah keenakan sambil meremas rambut Grace karena menahan nikmat penisnya yang seperti jamur hitam itu disedot-sedot. Sesudahnya, Grace mengelap cipratan di wajahnya dengan jarinya, dihisapnya jari-jarinya yang belepotan sperma itu.

Ali Muchtar menghempaskan dirinya di sofa setelah menikmati orgasme dahsyat tadi. Ia meraih tubuh telanjang Grace yang belum pulih benar. Ia naikkan wanita itu ke pangkuannya dalam posisi menyamping, tangannya yang satu menyangga punggung wanita itu dan satunya meraba-raba tubuh mulusnya.

“Demikian penjelasan saya tentang pornografi dan pornoaksi, apa ada yang ditanyakan lagi?” katanya.

“Mmhh…baik Pak, sekarang kita akan hadirkan narasumber lain untuk sshhh…membahas lebih jauh” kata Grace masih terengah-engah.

“Silakan…saya harap narasumber yang cantik supaya kita bisa main bareng ronde berikutnya” katanya mesum sambil mengelusi paha dalam Grace.

“Baiklah pemirsa…kita sambut narasumber berikutnya…Ratna Sarumpaet!!”

Ali Muchtar langsung terhenyak mendengar nama itu terlebih ketika wanita paruh baya itu muncul dengan mengenakan lingerie seksi membuat penisnya tambah menyusut, wajahnya memucat seperti orang mati.
Ratna Sarungkaret ehh…Sarumpaet

Ratna Sarungkaret ehh…Sarumpaet

“Selamat malam Pak Ali, ayo sekarang kita bahas pro kontra UU Pornografi!” sapa Ratna genit, “kalau saya pakai kaya gini itu porno gak Pak?”

“Waaaa…kenapa yang nongol kok kaya gini?” Ali Muchtar bangkit dari sofa dan mundur-mundur melihat wanita itu mendekati mereka.

“Ayo dong Pak…Bapak kan suka nyerang saya terus tiap bicarain undang-undang ini, ayo sini dong Pak katanya mau main bareng!”

“Wadow tobat!! Gak mau!! Saya pulang aja!” Ali Muchtar langsung berbalik dan Ratna Sarumpaet langsung mengejarnya.

“Demikian pemirsa tentang pembicaraan malam ini tentang pornografi dan pornoaksi” kata Grace ke arah kamera dengan gayanya ketika membawakan berita namun tanpa memakai pakaiannya, sesekali ia nampak menyeka ceceran sperma di bibirnya, “saya Grace Natalie undur diri”

“Aaaahhh…tuuuluuunggg!! Saya mau diperkosa!!” Ali Muchtar lewat di belakang sofa berlari tanpa celananya yang belum sempat dipakai, sorbannya sudah miring sebelah, kemeja dan jasnya sudah acak-acakkan. Sedetik kemudian Ratna Sarumpaet juga muncul lagi di depan kamera berlari mengejar sambil memanggil nama pria itu.

———————————————-

Zuhri mengucek-ngucek matanya seakan belum percaya pada pengelihatannya sendiri.

“He..he..he… bagaimana? Kamu sudah percaya?” tanya Jin Dildo.

“Ppp.. pef.. percaya, PERCAYA jadi…jadi semua ini kamu yang ngatur?”

“Yo’i…kamu kira saya gak serius? Sekarang apa fantasi seks terliarmu? Saya akan bantu mewujudkannya” kata Jin Dildo sambil menggaruk-garuk selangkangannya.

Zuhri memegang dagu dan memikirkan apa yang akan dimintanya dari jin ini.

“Nih ambil!” sahut Jin Dildo seraya melemparkan sesuatu pada Zuhri yang masih belum selesai berpikir setelah lima menit

“Buat apaan ini? katanya mau mengabulkan permintaan, koq malah dikasih kondom??”

“Yee denger dulu dong, kamu cukup melemparkan kondom itu ke arah wanita yang kamu sukai, setelah itu permintaanmu untuk bercinta dengannya akan terkabul!!”

“WAh, nggak bener nihhhh!! Gimana kalau kondomnya nggak berfungsi?? gimana kalau dikasih testernya dulu”

“TESTER ??? Loe pikir kue ?? ya udahlah ngalarisan, nihhhh…ambil!”Jin Dildo memberikan kondom yang ukurannya lebih kecil untuk dipakai sebagai tester.

Zuhri lalu keluar dari ruangannya, didengarnya suara langkah kaki di koridor samping, ia segera mendatangi asal suara. Seorang gadis cantik sedang berjalan ke arah tangga turun dekat lift, nampaknya ia hendak ke lantai di bawahnya saja karena tidak mengambil lewat lift. Dengan hati was-was Zuhri mengeluarkan kondom tester dari Jin Dildo. Dasar Zuhri, biarpun cuma sebagai tester ia tidak mau merugi, dipilihnya yang bening pula. Dengan gerakan cepat dari atas tangga Zuhri menjatuhkan kondom tester di tangannya ke arah si gadis yang sedang berjalan turun

“Criiinggg….”

“ehhh ?? LHAAAAAA….!!”

“Plekkkkk…..” lemparan Zuhri malah meleset dikit dan mengenai sesuatu yang lain yang membuat lutut Zuhri gemetar hebat.

“Mas , sini dooonggg…”terdengar suara merdu imitasi.

“Ehhh…enggak.., enggak makasih….”

“Masss ayooo dooonggg!“ suara itu terdengar semakin merdu dan manja.

“Nggakk usah,,., nggak usahhhh…, MAKASIHH…suzz!” Zuhri segera mundur teratur.

“MASSS SINI DOOOONGGG, WOIII, MO LARI KEMANA!?? GUA BERI LUHHH!!” nada suara merdu dan manja itu mendadak berubah menjadi aslinya.

“MAMPUS dahh…!!, WOAAWWWWW!” tanpa harus berpikir dua kali Zuhri mengeluarkan ilmu meringankan tubuh dan berlari sekencang-kencangnya tanpa menoleh ke arah suara berat mirip seperti suara bass betot itu

“NGOSS—HHH, Ngoossh, uhukkk, NMGOSSS” setelah berlari putar-putar menghindari pengejar itu Zuhri akhirnya memasuki ruanganna sendiri dan berhenti berlari, sesekali ia menengok lewat jendela ke luar dengan wajah ketakutan. Di belakangnya muncul kepulan kabut yang semakin tebal dari balik kabut muncullah Jin Dildo.

“Nahh gimana? ampuh bukan??” tanyanya sambil menyeringai

“Ampuh apanya?? Kira-kira dong, masa saya dikasih yang kaya begituan, saya ini normal Om Jin, !! sukanya ama yang bening bening!! ”Zuhri membentak Jin Dildo

“Lohhh, yang salah sasaran kan ente buka ane!! yang kena lempar malah Ivan Gunawan!” Jin Dildo balas membentak, nyali Zuhri langsung menciut melihat sikap galak Jin Dildo.

“Tenang Omm, tenangg…orang sabar banyak rejeki”

“Ya sudah, sekarang ga usah pake kondom-kondoman, langsung aja ucapin permintaannya, ingat cuma satu permintaan, kalau sampai salah..KASIAN DEH LOEEE!”

“Langsung aja? Jadi ga usah pake lempar-lemparan kondom kaya tadi?”

“Yup tinggal ucapkan keinginan, nanti gua yang ngatur gimana kejadiannya, gitu aja” Jin Dildo mengangguk

“Ya illah…kenapa baru sekarang bilangnya? Gua udah ampir diembat sama diva jadi-jadian tau ga sih!” kata Zuhri dengan wajah dongkol, kecele, dan agak sebal dengan si jin ini.

“Ya abis situ mikirnya lama banget tadi, ya gua kasih itu aja biar instan tinggal lu lempar!” tangkis Jin Dildo.

Meskipun sebel, Zuhri kini memikirkan baik-baik apa fantasi terliarnya yang terpendam, ia tak mau salah lagi karena kesempatannya cuma satu saja. Kini ia baru teringat lagi dengan Arline yang diidam-idamkannya, saking antusiasnya tadi ia sampai lupa memikirkan gadis idolanya di kantor ini. Senyumnya langsung mengembang di bibir tebalnya.

“Hhhmmm ini aja, di kantor sini ada karyawati cantik banget namanya Arline, dia sekarang di lagi beresin pekerjaan di ruangannya, coba atur supaya saya bisa ngentot sama dia, gimana bisa ga?” tanya Zuhri penuh harap.

“Cuma gitu aja? Dengan cara bagaimana? Ingat permintaannya cuma satu, coba pikir baik-baik fantasi seks seperti apa yang kamu inginkan bersama dia karena setelah ini kamu tidak akan bisa meminta lagi” tanya Jin Dildo meyakinkan Zuhri sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya.

Zuhri berpikir ulang lagi, bagaimana prosesi seks yang diinginkannya, benar juga kata jin itu, ini kesempatan sekali seumur hidup jadi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

“Ah begini aja, gua pengen terlibat seks di dalam lift sama Non Arline, kalau bisa sih pesta seks jadi ada cewek lain juga hehehe…” jawab Zuhri, ia teringat lagi film semi yang ditontonnya beberapa hari lalu dimana ada adegan sepasang kekasih bercinta di dalam lift.

“Ohoho…fantasi yang bagus, as your wish!” katanya

“Es yur wis? Apaan tuh? Mantranya ya?” tanya Zuhri bingung.

“Itu bahasa Inggris artinya sesuai permintaanmu, dogol!” kata si jin sambil menggeplak kepala Zuhri.

“Dasar jin galak, gua kan ga pernah belajar bahasa Inggris” Zuhri mengelus-elus kepalanya.

“Nah sekarang yang kamu lakukan tinggal ke lift dekat tangga darurat terus masuk ke dalamnya!”

“Terus? Masa gitu aja?”

“Udah ikutin aja kata gua, selanjutnya lu tinggal liat sendiri, sana cepet!” perintah Jin Dildo.

Masih antara percaya dan tidak, juga takut gagal seperti sebelumnya, Zuhri mengikuti saja apa kata jin itu. Ia melangkahkan kakinya menuju lift yang dimaksud. ‘Ting’ setelah tiga menit akhirnya lift membuka di lantai 12, di dalam nampak seorang pria berkumis tipis berusia 40tahunan bertubuh agak gemuk dan seorang pria setengah baya berambut sudah mulai memutih yang tubuhnya sudah mulai bongkok.

“Yang bener aja? Isinya kok kaya gini? masa gua disuruh main pedang-pedangan ama mereka?” keluh Zuhri dalam hati memandang pada kedua orang itu.

“He…mau masuk atau ngga? Kok malah bengong disitu?” tanya si pria berkumis tipis.

“Ehehe…iya, iya saya mau masuk!” ia memilih untuk masuk saja karena ingin menguji kemampuan si Jin Dildo.

Setelah pintu menutup lift naik ke atas, detik demi detik terasa lama bagi Zuhri yang sudah was-was takut kalau pesta seks yang dimaksud si jin adalah bersama kedua orang ini.

“Aduh emak harusnya gua gak masuk tadi, mana Non Arlinenya, tadi banci kaleng, sekarang masak sama dua bandot ini sih?” keluh Zuhri dalam hati sambil menjeduk-jedukkan kepalanya pelan ke dinding lift.

“Nih orang kenapa sih? Nasib…nasib udah pulang malam, selift ama wong gendeng lagi” kata si pria gemuk dalam hati sambil memandang aneh pada office boy itu.

Si pak tua juga mengernyitkan dahi melihat tingkah aneh pemuda itu. ‘Ting’ lift membuka di lantai 16, kali ini barulah mata Zuhri berbinar-binar karena yang masuk memang sesuai harapan. Seorang gadis berambut panjang berparas cantik, tubuhnya yang ideal dibungkus kemeja putih dengan aksen kotak-kotak pada pinggirannya serta rok bermotif senada dengan motif pakaian atasnya. Gadis ini bernama Karina, 22 tahun, sekretaris salah satu perusahaan di gedung ini. Bukan hanya Zuhri, kedua orang pria itu juga turut terpesona pada kecantikan Karina. Lift kembali menutup dan kini menuju ke bawah, di lantai 12, ‘ting’, inilah yang diharap-harapkan Zuhri sejak tadi, wajahnya langsung berubah cerah melihat yang menunggu di depan pintu lift. Si cantik Arline kini hendak pulang, ia membawa map dan tas jinjingnya dan melangkah memasuki lift itu.

Karina

Karina

Kini di dalam lift ada dua orang gadis cantik dan tiga orang pria. Pria gemuk berkumis tipis itu bernama Nurdin, seorang karyawan salah satu perusahaan di gedung ini yang juga baru selesai kerja dan hendak pulang, sementara pak tua itu biasa dipanggil Pak Oding, seorang petugas pembersih toilet. Ketika lift baru saja melewati lantai 8, tiba-tiba terdengar bunyi seperti benturan dan lift berhenti diikuti sedikit goncangan yang membuat kedua gadis tersebut menjerit panik. Pak Nurdin, yang berdiri dekat tombol lift, mencoba berinisiatif dengan menekan tombol OPEN, namun pintu lift tidak mau terbuka, begitu juga tidak ada reaksi ketika ia menekan tombol lainnya sembarangan. Tampaknya mereka terjebak di dalam lift itu.

“Gi…gimana ini?” Karina kelihatan panik sambil memandang semua orang di lift.

“Jangan panik! Sebentar lagi pasti ada yang memperbaiki lift ini, anu Pak tekan tombol yang gambar lonceng itu buat panggil petugas” ujar Zuhri pada Pak Nurdin mencoba menenangkan Karina dan Arline.

“Mana? Kok gak jalan nih? Masa intercomnya juga mati?” kata Pak Nurdin memencet-mencet tombol itu tanpa ada suara balasan dari sana.

“Tenang…tenang, saya coba hubungi orang di luar pake HP!” sahut Arline yang kelihatan lebih tenang seraya mengeluarkan HP dari tasnya, semua menatap penuh harap padanya.

“Oh my God…” katanya dengan ekspresi dongkol menatap layar ponselnya

“Kenapa Non?” tanya Pak Oding

“Gak…gak ada sinyal…duh ayo dong ayo!!” kata gadis itu sambil berjalan ke arah lain dan menggerak-gerakkan tangannya yang memegang ponsel berusaha mencari sinyal namun usahanya sia-sia.

“Ada yang punya HP lagi ga?” tanyanya memandang pada Karina.

“Gak…punya gua juga baru habis batere tadi sekarang gak nyala” Karina menggeleng, wajahnya kelihatan makin cemas.

“Ada…coba yang saya!” Pak Nurdin segera membuka tas kerjanya dan mengeluarkan ponselnya, “waduh sialan…gak ada sinyal juga!” omelnya sambil menyentak kaki.

Zuhri dan pak tua Oding menggeleng karena mereka tidak punya ponsel.

“Gawat, kita terkurung di sini tanpa bisa hubungin orang di luar” kata Pak Nurdin sambil geleng-geleng kepala.

Kelima orang itu terdiam menyandarkan punggung masing-masing ke dinding lift sambil memikirkan jalan keluar. Pak Nurdin masih mondar mandir berusaha mencari sinyal.

“Itu Jin gimana sih? Tadi gua ampir dimangsa banci kaleng, sekarang gua dikurung di lift? Mana pesta seksnya?” keluh Zuhri dalam hati, ia merasa tidak ada tanda-tanda ke arah sana karena sekarang semua sedang memikirkan caranya keluar dari sini.

Lima menit berlalu, suhu di dalam lift semakin meningkat tapi belum ada tanda-tanda positif. Arline menekan-nekan tombol di lift berharap ada reaksi namun hasilnya sia-sia.

“Apa kita bakal lama di sini? Sa…saya mulai ssshh…ga enak badan” kata Karina yang tiba-tiba merasa gerah yang tidak wajar, ia merasakan jantungnya berdetak makin kencang, darahnya makin berdesir dan dirasakannya selangkangannya pun mulai mengeluarkan cairan tanpa bisa ia kendalikan.

Dilihatnya Arline, ternyata gadis itu pun mengalami hal yang sama. Ia mulai tampak tidak tenang dan gelisah, kakinya pun ditutup rapat sambil mulutnya menggigit bibir bawahnya. Namun ia sedapat mungkin menyembunyikan perasaan aneh itu agar tidak terlihat yang lain. Bukan hanya dialami kedua gadis itu, hal serupa pun dirasakan oleh ketiga pria di dalam lift itu. Hormon-hormon seks mereka seperti bergolak sehingga penis mereka mengeras menyesakkan celana, mata mereka pun memandang nanar pada kedua gadis cantik yang terjebak bersama mereka. Zuhri mulai menyadari ini pastilah hasil perbuatan Jin Dildo, tapi belum berani bertindak apapun, yang lain pun jadi tidak bersuara memendam birahi yang tiba-tiba melanda mereka itu sehingga suasana di lift sempat hening sejenak, yang terdengar hanya suara nafas yang mulai tidak teratur dan suara tubuh bergeser sedikit. Pak Nurdin beberapa kali mengelap keringat di dahinya dengan saputangan, ia juga heran mengapa dalam situasi seperti ini birahinya datang tiba-tiba. Mata Karina merem-melek, ia sudah tidak tahan lagi dengan libido yang semakin bergolak dalam tubuhnya, ia pun mendekati Pak Nurdin yang berdiri paling dekat dengannya.

“Pak…ssshh…tolong yah, saya udah gak tahan!” selesai berkata ia langsung memeluk pria tambun itu dan melumat bibir tebalnya.

“Non saya juga ikutan yah…sama nih gak tahan!” kata si pak tua penjaga toilet seraya mendekap tubuh Karina dari belakang, tangannya langsung menggerayangi bagian dada gadis itu dari luar kemeja kerjanya.

Zuhri dan Arline terbengong-bengong memandangi Karina berciuman panas di antara kedua pria itu. Meskipun keduanya juga telah terangsang berat namun belum berani mengungkapkannya. Sementara itu, Karina dan kedua pria itu semakin panas saja, Pak Nurdin serta merta menyambut cumbuan gadis itu, tangannya merayap ke bawah menyingkap rok gadis itu dan mulai membelai paha belakangnya. Di belakangnya, Pak Oding mulai mempreteli kancing baju gadis itu satu persatu hingga akhirnya pakaian itu terbuka dan terlihatlah bra ungu di baliknya.

“Ka…kalian ngapaian?” tanya Arline terperangah memandangi mereka, ia sendiri semakin terangsang, tangannya yang dilipat di dada diam-diam meremas payudaranya sendiri dari balik kemejanya.

“Hei…tunggu apa lagi tuh? Bengong aja?” Zuhri tiba-tiba mendengar bisikan tanpa wujud di telinganya.

Mata Zuhri bergantian memandangi Arline dan Karina, kemaluannya telah mengeras namun sebagai seorang pria yang pemalu dan belum pernah menyentuh perempuan ia masih belum berani bergabung.

“Hehehe…dasar perjaka tingting, cewek idamanlu udah horny juga…tinggal lu sikat, tunggu apa lagi!” kata bisikan itu lagi.

Dengan gemetar tangan Zuhri bergerak ke bawah mencolek pantat Arline.

“Aawww!!” Arline memekik dan langsung memelototi Zuhri, “kamu kurang ajar…mmhhh!”

Gadis itu mendorong Zuhri ke dinding lift lalu secepat kilat memagut bibir Zuhri dengan bibirnya. Walau agak kaget, Zuhri pasrah ketika lidah gadis itu merangsek masuk ke dalam rongga mulutnya. Satu tangan Arline mengelus-elus bagian depan celana Zuhri, sementara tangan lainnya menelusuri dada dan perutnya.

Arline menarik turun resleting celana office boy itu lalu tangannya langsung menyusup masuk ke celana dalamnya mengocok benda panjang di baliknya. Setelah itu ia melepas ciumannya dari bibir Zuhri dan berlutut di depannya, dipelorotinya celana panjang pria itu beserta celana dalamnya. Penis yang hitam dan panjang itu langsung mengacung di depan wajah cantiknya.

“Uoohh!” Zuhri mendesah nikmat ketika untuk pertama kalinya kepala penisnya yang bersunat itu dijilati oleh seorang wanita.

Ia bengong melihat penisnya dimainkan oleh Arline, gadis itu mengocoki penisnya sambil menjilati kepala dan batang penisnya. Sementara di depannya, Karina masih berciuman dengan panas dengan Pak Nurdin, namun kini seluruh kancing pakaiannya telah terbuka, kedua cup bra nya juga telah terangkat sehingga payudaranya yang berukuran sedang itu menyembul keluar.

“Apa yang terjadi? Ini masih di lift, mereka ini siapa sampai aku bisa berbuat begini dengan mereka? tapi…tapi aku gak bisa mencegah, malah menikmati semua ini? Kenapa ini?” Karina bertanya-tanya dalam hati.

Sekretaris cantik itu tidak mengerti karena dalam hatinya dia sama sekali tak menginginkan percumbuan ini, tapi entah kenapa ia hanya bisa diam dan tak sanggup menolaknya. Ia merasa tubuhnya bereaksi di luar kontrolnya, libidonya seperti meledak-ledak menuntut pemuasan dengan cara apapun juga. Lidahnya mulai mengikuti permainan lidah Pak Nurdin dan bibirnya pun ikut menghisap mulut pria tambun itu. Putingnya semakin mengeras saja ketika tangan keriput Pak Oding meremasi payudaranya dan jari-jarinya yang nakal memencet dan memilin putingnya. Pak Nurdin mengangkat roknya dan tangannya merambat naik mengelusi paha mulusnya. Sensasi nikmat itu semakin bertambah ketika ia merasakan paha yang satunya juga dielus-elus oleh si penjaga toilet yang mendekapnya dari belakang. Ia menggerakkan bola matanya ke samping dan melihat Arline sedang berlutut di depan office boy itu dan mengoral penisnya dengan bernafsu.

”Ada apa sebenarnya ini? Semua ngeseks tanpa malu-malu di tempat ini? Aku…aku…aahh!” Karina makin bingung dan tidak mampu mengendalikan diri lagi, apalagi rangsangan demi rangsangan semakin membuatnya terbuai.

”Uhhh…Non, enak banget…oohh…geli…asyik!” Zuhri menceracau tak karuan merasakan permainan mulut Arline pada penisnya, lidahnya yang hangat itu menjilati memutar kepala penisnya, terkadang menjilat lubang kencingnya, dipadu dengan hisapan dan kulumannya, kepala gadis itu nampak maju mundur melayani penis Zuhri.

Lima menit kemudian, tiba-tiba Arline menghentikan sepongannya membuat Zuhri yang sedang asyik-asyiknya menikmati pelayanan mulutnya kecewa. Tatapan mata gadis itu begitu sayu dan wajahnya merona merah pertanda ia telah dilanda birahi tingkat tinggi. Tanpa dikomando, Zuhri menyandarkan tubuh gadis itu ke sudut lift lalu berjongkok di hadapannya. Tangannya segera mengangkat rok hitam yang dikenakan gadis itu dan diciuminya bagian selangkangannya yang masih tertutup celana dalam dan stoking. Ia menggesek-gesekkan jarinya pada bagian tengah selangkangan gadis itu sehingga wilayah itu semakin berlendir dan merembes hingga membasahi celana dalamnya. Zuhri mulai menurunkan perlahan-lahan stoking dan celana dalam yang dipakai gadis itu. Arline yang sudah dikuasai nafsunya juga melepaskan sepatu haknya, lalu mengangkat kakinya satu demi satu membiarkan celana dalam dan stocking itu lepas. Kini terpampang sudah paha Arline yang mulus juga kemaluannya yang berbulu hitam lebat itu.

”Ooohh….ssshhh…yaahh!” erang Arline sambil menggigit bibir bawah dan meremasi rambut Zuhri ketika lidah pria itu menjilati bibir vaginanya.

Arline mendesah nikmat walaupun teknik menjilat Zuhri tidak berpengalaman, situasi lah yang membakar birahinya. Apalagi kini di hadapannya, Karina yang pakaiannya telah terbuka tengah berlutut sambil menyepong dan mengocok penis Pak Oding dan Pak Nurdin secara bergantian. Kedua pria itu mendesah-desah karena kelihaian Karina memanjakan penis mereka. Sesekali matanya yang bulat indah melirik ke arah mereka yang merem melek keenakan, sungguh seksi ekspresinya ketika itu. Lima menit kemudian, Pak Nurdin yang ingin mendapat kenikmatan lebih, melepaskan kocokanku dan pindah berlutut di belakang si sekretaris cantik itu. Ia angkat pantat gadis itu hingga sedikit menungging, roknya diangkat hingga sepinggang kemudian ia menurunkan celana dalam krem yang masih pada tempatnya itu.

“Aaahhh!” Karina mendesah dan menggeliat merasakan benda tumpul bergesekan dengan bibir vaginanya.

“Masukin aja Pak, saya udah kepengen banget!” pinta Karina sambil menengok ke belakang.

Pak Nurdin pun tanpa buang waktu segera menekan kepala penisnya memasuki vagina gadis itu yang telah becek. Erangan Karina mengiringi proses penetrasi itu.

“Eengghh…enak Non, hangat, legit!” komentar Pak Nurdin menikmati jepitan vagina Karina.

Pria tambun itu pun mulai menggenjot tubuh Karina, tangannya meraih payudara gadis itu dan meremasinya dengan gemas.

“Yuk Non, nyepongnya terusin dong!” sahut Pak Oding seraya menjejali penisnya yang sempat terabaikan sejenak ketika penetrasi tadi ke mulut gadis itu.

Karina semakin bersemangat mengoral penis pak tua itu sambil menikmati sodokan-sodokan Pak Nurdin. Penis itu dihisapnya kuat-kuat, sesekali lidahnya menjilati ‘helm’nya. Teknik ini membuat Pak Oding blingsatan tak karuan sampai dia menekan-nekan kepalaku ke selangkangannya. Kocokan terhadap juga semakin dahsyat hingga desahan ketiga pria ini memenuhi ruangan lift.

“Nnnhhh…nnnnhhh…” lenguh Pak Nurdin merasakan setiap sensasi jepitan daging kemaluan Karina, benar-benar nikmat vagina si sekretaris cantik itu, ia makin bernafsu merojok-rojokkan penisnya ke liang senggama Karina.

Setelah beberapa saat lamanya disetubuhi Pak Nurdin, tiba-tiba badan Karina mengejang, kedua kakinya dirapatkan.

“AAAAGGHHH… … .” erang Karina mencapai orgasme yang dahsyat.

Tubuhnya menggelinjang kemudian melemah, tangannya masih mengocok penis Pak Oding, vaginanya yang terlihat mengeluarkan cairan membasahi selangkangannya begitu Pak Nurdin mencabut penisnya. Setelah beberapa lama persetubuhan itu berlangsung. akhirnya pria tambun itu pun menyemprotkan spermanya dengan sodokan yang keras ke dalam vagina Karina.

Arline yang sedang menikmati jilatan Zuhri pada vaginanya semakin terangsang menyaksikan Karina digarap kedua pria itu. Ia membuka kancing kemejanya sendiri dan mengeluarkan payudaranya dari balik cup branya. Ia meremasi payudaranya sendiri dan memain-mainkan putingnya yang telah mengeras. Ia merasa ada sesuatu yang merasukinya sehingga tidak mampu menahan hasrat dan tidak malu-malu lagi bertingkah binal seperti ini.

“Sssshh…udah…cepet masukin, gua udah kepengen nih!” Arline menarik rambut Zuhri yang sedang menghisap vaginanya.

“Uuppsss…sabar Non kok dorong-dorong gitu!” kata Zuhri karena didorong gadis itu hinggu terduduk di lantai lift.

Dengan agresif Arline segera naik ke selangkangan Zuhri dan meraih penisnya. Zuhri melongo dan nafasnya semakin memburu melihat wajah Arline yang telah memerah dan dadanya yang terbuka memperlihatkan sepasang payudaranya yang bulat montok.

“Uuuuhh…Non!!” erang Zuhri dengan mata membeliak melepas keperjakaannya yang telah berlangsung selama tiga dekade, vagina Arline menelan penisnya perlahan-lahan, menjepit dan memberi kehangatan pada penisnya.

“Aaaahhh!” Arline juga mendesah seiring tubuhnya yang menekan ke bawah menyatukan tubuhnya dengan tubuh si office boy itu.

Tanpa menunggu lama, gadis itu mulai menaik-turunkan tubuhnya di atas penis Zuhri. Mata mereka saling bertatapan, wajah Arline yang terangsang berat dengan tatapan matanya yang liar itu sungguh membuat Zuhri semakin terpesona. Ia melepaskan kemeja dan bra gadis itu sehingga kini tubuh bagian atas Arline topless, yang tersisa tinggal roknya yang telah terangkat hingga pinggang dan stoking yang membalut paha jenjangnya. Mata Zuhri menatap nanar pada buah dada Arline yang terpampang tepat di depan wajahnya. Tangannya meraih payudara kanannya dan mulutnya melumat yang kiri.

“Slllphhhhhh… slllppphhhh… ckkk…slllphhhh” lidah Zuhri menjilati putting Arlline kemudian mulutnya memangut bulatan payudaranya yang putih besar tanpa terlewatkan satu centi-pun, dengan lembut Zuhri mengusap-ngusap bongkahan payudara gadis itu.

Arline mendekap kuat kepala Zuhri yang tengah asyik menyusu di dadanya. Mulut office boy itu memanguti beberapa tempat sehingga Arline mendesah tak karuan, gairahnya melonjak-lonjak tanpa tertahankan. Arline sempat menjerit beberapa kali, gerak naik-turunnya pun makin cepat sehingga membuat Zuhri sedikit ngilu pada selangkangannya karena bolanya beberapa kali tertekan, namun kenikmatan yang didapat jauh lebih besar.

Setelah Pak Nurdin mencapai orgasme bersama Karina, Pak Oding, si penjaga wc tua itu buru-buru menggantikan posisinya. Ia mengambil tempat di antara kedua paha Karina yang setengah berbaring di lift dengan menumpukan kedua sikunya pada lantai lift.

“Bapak entot yah Non!” katanya meminta ijin sambil menempelkan kepala penisnya pada bibir vagina si sekretaris cantik.

Karina mengangguk sambil mendesah pelan, ia meraih penis itu membantunya masuk ke vaginanya yang gatal dan menunggu dengan gelisah tanpa sabar. Dituntunnya penis pria setengah baya itu menuju liang senggamanya. Ia merasakan katup bibir kemaluannya langsung mengencang seakan tidak rela penis pria itu menembusnya. Ia merasakan kegatalan pada tepi-tepi klitorisnya yang terus mengeras tegang dan ketat menahan tusukan penis Pak Oding. Tetapi itu hanyalah ironi dari keinginan yang meledak-ledak dalam bentuk penolakan “jangan – tidak” yang dibarengi gelinjang-gelinjang nafsu birahi dari seluruh tubuhnya. Pada akhirnya semuanya tak ada yang mampu menghadang. Penis Pak Oding dengan kepala mirip jamur itu secara pelan dan pasti telah merangsek maju, menggedor-gedor gerbang vaginanya secara pasti dan tanpa kenal menyerah. Karina merasakan mili demi mili penis Pak Oding menerobos bibir dan kemudian dinding awal menuju liang kenikmatannya. Ia mendengarkan dan merasakan bagaimana lenguh dan desah pria tua itu saat penisnya melesak masuk di lubang sempitnya. Karina mengerak-gerakkan pinggulnya memancing agar pria itu mengocoknya. Setiap ada sedikit gesekan antar kelamin mereka, memberinya kenikmatan yang khas dan vaginanya sepertinya mengerti, ia merasa vaginaku makin becek saja. Pak Oding bergumam tidak jelas, nafasnya tidak teratur, dia mulai memaju-mundurkan penisnya dengan frekuensi sedang dan stabil, terkadang memutarnya seperti mengaduk sehingga membuat sekretaris cantik itu menggelinjang tak karuan. Di tengah genjotannya, tangan si penjaga wc tidak pernah absen menjelajahi kemulusan tubuh Karina. Pinggul gadis itu bergerak liar tanpa terkendali akibat kenikmatan yang melandanya, demikian pula erangan dari mulutnya. Ia tidak perduli lagi, ia hanya perduli akan kenikmatan yang sedang dirasakannya, tidak perduli dengan orang lain di lift ini karena semua sedang larut dalam birahi. Sedikit lagi…yah sedikit lagi…ia bergerak semakin liar merasakan orgasme yang sudah mendekat. Hingga satu titik…ia melolong panjang, seluruh otot tubuhnya mengejang seolah diterpa suatu gelombang yang dahsyat. Selama beberapa detik ia merasa kosong dan akhirnya kembali melemas.

Pak Nurdin yang penisnya sudah keras lagi mendekati Arline yang sedang woman on top di atas selangkanan Zuhri.

“Masukin ke mulut ya!” perintah Pak Nurdin memegang batang penisnya yang terarah ke wajah gadis itu.

Arline yang gairahnya sudah di ubun-ubun tanpa malu-malu meraih penis itu dan memasukkan kepala penis itu ke mulutnya. Pak Nurdin mendesah merasakan kehangatan mulutnya, sentuhan lidahnya memberi sensasi nikmat padanya. Karena ukurannya lumayan besar, sesekali Arline mengeluarkan penis itu dari mulutnya untuk dikocoknya pelan, kemudian dikulumnya lagi. Penis itu semakin mengeras dan berkedut-kedut di dalam mulutnya. Sesungguhnya Zuhri merasa sedikit cemburu melihat Arline yang dipujanya mengoral penis si gendut Nurdin, namun juga makin terangsang sehingga ia makin sering menyentak-nyentakkan pinggulnya ke atas sehingga penisnya makin menghujam ke dalam vagina gadis itu. Jepitan vagina Arline ditambah goyangannya yang liar benar-benar memberikan Zuhri sensasi luar biasa. Sebentar lagi ia akan mencapai puncak ditandai dengan penisnya yang semakin berdenyut.

“Aahh…Non…enakkkhhh…Non Arline…uuuhh!” desah Zuhri dengan mata membeliak-beliak dan tangan meremasi payudara gadis itu merasakan klimaks yang semakin dekat.

Akhirnya dengan erangan panjang Zuhri merasakan penisnya menyemprotkan isinya ke dalam vagina Arline. Cairan itu memenuhi vagina Arline sehingga membuatnya licin dan terdengar bunyi berdecak ketika kelamin mereka bertumbukan. Zuhri meraih orgasme pertama yang dahsyat dari gadis itu, bahkan setelah spermanya tidak keluar lagi, Arline masih tetap naik turun di atas selangkangannya. Goyangannya baru berangsur-angsur berkurang ketika penis Zuhri mulai melemas lagi. Pak Nurdin memberi syarat untuk ganti posisi, ia meraih lengan gadis itu dan membantunya berdiri. Arline kini bersandar ke pintu lift dengan pinggul menungging. Pria tambun itu mendekap tubuh langsingnya dari belakang dan menempelkan kepala penisnya pada selangkangan gadis itu.

“Aaaahhh…Pak!” erang Arline ketika dirasakannya benda tumpul menyentuh bibir vaginanya dan menekan masuk.

Pak Nurdin segera menghela pinggulnya setelah berhasil menancapkan penisnya pada vagina gadis itu. Kini tubuh keduanya berpacu mencapai kenikmatan.

“Eeehh…Non…apain?” tanya Zuhri pada Karina yang merangkak mendekati dirinya yang masih terduduk di lantai lift.

Karina tidak menjawabnya, namun sorot matanya yang sayu mengatakan ia ingin bercinta. Tanpa berkata apapun tangannya meraih penis Zuhri lalu ia menundukkan kepala ke arah situ dan ‘hap’ penis itu pun masuk ke mulutnya.

“Wuaduhh…Non, uhhh…hhhhsss….uenak!” erang Zuhri sambil meremas-remas rambut sekretaris cantik itu.

Lidah Karina bergerak liar menyapu kepala penis dan lubang kencing si office boy itu sehingga membuatnya berkelejotan dan merem melek keenakan. Sebentar saja penis Zuhri sudah mengeras lagi setelah sebelumnya sempat menyusut pasca orgasme dengan Arline tadi.

“Sshhh…udah dulu Non…ntar keburu keluar lagi!” sahut Zuhri seraya mengangkat kepala Karina sehingga penisnya terlepas dari mulut gadis itu.

Ia membaringkan tubuh Karina yang yang pakaiannya sudah terbuka sana-sini itu di lantai lift dan berlutut di antara kedua pahanya.

“Iyah…cepet masukin!” pinta Karina lirih, ia membuka lebar kedua pahanya dan jarinya membukakan bibir vaginanya yang sudah sangat basah.

“Hihihi…hoki lu, baru lepas perjaka dah dapet dua bidadari!” kata sebuah suara tanpa wujud yang hanya dapat didengar Zuhri.

Zuhri menempelkan kepala penisnya pada bibir vagina Karina dan menekannya. Karina mengerang dan tubuhnya menggeliat ketika penis itu menerobos masuk menggesek dinding-dinding vaginanya yang peret.

“Uuhh…enaknya!” kata Zuhri dalam hati menikmati sempitnya himpitan vagina Karina pada penisnya.

Sebentar kemudian ia mulai menggenjot vagina Karina setelah menaikkan kedua betis gadis itu ke bahunya. Sambil berpegangan pada kedua paha gadis itu, Zuhri semakin bernafsu menyetubuhinya. Karina mendesah-desah nikmat sambil meremas-remas payudaranya sendiri.

Kini Karina tak bisa memikirkan apapun selain merasakan kenikmatan yang amat sangat yang melanda vaginanya. Setiap genjotan Zuhri memaksanya merintih keenakan, apalagi kadang ia menyodok dengan keras, membuatnya melayang didera kenikmatan yang luar biasa. Sensasi ini masih ditambah dengan datangnya Pak Oding yang minta jatah lagi, ia berlutut di sebelah kepala gadis itu yang langsung membuka mulutnya. Pria tua itu segera melesakkan penisnya untuk mendapatkan servis oral dari Karina. Kurang lebih lima menit kemudian, Pak Oding menarik lepas penisnya yang telah mengeras lagi dari mulut Karina. Namun ia kini mendekati Arline yang sedang digarap oleh Pak Nurdin dalam posisi berdiri. Si penjaga wc tua menarik wajah gadis itu dan melumat bibirnya, tangannya yang keriput meraih payudaranya dan meremasinya. Sementara itu, Zuhri semakin cepat menggenjoti vagina Karina, ia merasakan penisnya semakin berdenyut-denyut dan sebentar lagi akan klimaks.

“Hhuuhh…Non, enak bangethh…hoohh…hhsss!” erangnya sambil terus memacu tubuhnya yang sudah bercucuran keringat.

“Terus Mas…terussshh…lebih kerasss!” Karina juga mengerang-ngerang nikmat, tangannya meraih leher Zuhri dan menariknya ke depan sehingga pria itu kini menindih tubuhnya.

Ia menggelinjang-gelinjang menikmati sodokan penis Zuhri pada vaginanya sambil berpagutan dengan pria itu. Setelah kira-kira sepuluh menit, Zuhri mencapai orgasmenya dengan menyemburkan spermanya ke vagina Karina. Bersamaan dengan itu, Karina yang nafsunya sudah di awang-awang pun mencapai orgasmenya ketika dirasakannya semburan hangat dalam vaginanya. Mereka berdua berbaring terengah-engah kelelahan. Saat itu Pak Nurdin juga baru saja melepas penisnya dari vagina Arline yang juga telah orgasme. Tubuh gadis itu merosot hingga duduk bersimpuh di lantai lift. Pak Nurdin mendekatkan penisnya yang masih keras ke wajahnya. Tahu apa yang harus dilakukan, Arline meraih penis itu dan mengulumnya sementara tangannya yang satu meraih penis Pak Oding dan mengocoknya lembut.

Zuhri mencabut penisnya dari vagina Karina, gadis itu lalu menggeser tubuhnya ke sebelah Arline dan mengangkatnya hingga duduk bersimpuh. Kini kedua gadis itu dikepung tiga pria. Tangan dan mulut mereka bergantian mengulum dan mengocok penis ketiganya. Pak Nurdin keluar lebih dulu, spermanya yang kental muncrat membasahi wajah dan sebagian rambut Arline. Setelah melakukan cleaning service yang mantap, Arline beralih ke penis si penjaga wc yang saat itu sedang dikocok oleh tangan Karina. Maka kini Arline mengoral Pak Oding dan Karina mengoral Zuhri, sementara Pak Nurdin yang baru orgasme bersandar lemas pada dinding lift. Tak sampai sepuluh menit kemudian, Pak Oding juga mencapai orgasmenya. Spermanya menyemprot di dalam mulut Arline yang telah siap dengan teknik menghisapnya. Gadis itu nampak berkonsentrasi menelan dan mengisap penis tua itu sehingga tidak sedikitpun dari cairan sperma itu meleleh di pinggir mulutnya. Hisapannya tentu saja membuat Pak Oding makin menggelinjang.

“Uuuhh….aahhh…Non, iseppphhh terusshh!” erangnya parau

Sementara Zuhri juga merem-melek keenakan menikmati sapuan-sapuan lidah Karina pada penisnya. Selain mengoral, tangan gadis itu juga aktif mengocoki batang penisnya. Zuhri tidak sanggup lagi menahan penisnya yang makin berkedut-kedut hendak meledakkan sesuatu di dalamnya. Cret…creett…uuhhh…akhirnya Zuhri mendesah ketika meraih klimaksnya. Saat itu Karina sedang mengocok penisnya, gadis itu segera menyambut cipratan cairan putih itu dengan membuka mulutnya. Sperma itu sebagian besar masuk ke mulutnya, namun sebagian lainnya membasahi bibir dan wajahnya. Karina meraih penis itu dan menjilati sisa-sisa spermanya seolah tak rela tidak kebagian cairan itu. Keduanya lalu berpelukan dan berciuman dengan penuh nafsu, payudara mereka saling berhimpitan. Arline menjilati ceceran sperma pada wajah Karina, sementara ketiga pejantan itu telah terduduk lemas di pinggir lift.

Beberapa menit kemudian, semua yang di dalam lift mulai sadar, kembali ke alam nyata. Perlahan akal sehat mereka kembali pulih karena birahi yang tadi selalu menyala walaupun selesai bercinta, sekarang tampaknya sudah terpuaskan. Kedua gadis itu buru-buru memunguti pakaian mereka dan dengan tergesa-gesa memakainya. Zuhri melihat kebingungan dan malu tersirat di wajah kedua gadis itu yang terlihat begitu lelah setelah pesta seks di lift. Baik Arline maupun Karina tak berani memandang tiga pria itu karena merasa malu dengan apa yang baru saja mereka perbuat

“Ya Tuhan…apa yang baru saja terjadi? Apa aku sudah menjadi pelacur yang tak bisa menahan nafsu sampai mau saja bercinta dengan orang-orang seperti ini?” pikir Arline yang menyesali perbuatannya barusan.

“Ada apa barusan? semua jadi horny dan terlibat ML” pikir Karina yang tak sanggup berkata apa-apa, ia tak menemukan penjelasan yang masuk akal mengenai kejadian tadi itu.

Semua di lift itu dilanda kebingungan, para pria saling pandang tidak tahu harus berkata apa. Tiga menitan setelah semua berpakaian, lift kembali menyala. ‘ting’ lift membuka di lantai dasar, kedua gadis itu buru-buru keluar walaupun sebenarnya mereka hendak menuju ke basement parkir. Zuhri kembali naik ke ruangannya untuk beres-beres bersiap pulang, hatinya dipenuhi dengan seribu tanda tanya sekaligus rasa puas karena telah berhasil bercinta dengan idolanya plus si sekretaris cantik Karina, sungguh sebuah pengalaman seks yang luar biasa yang belum tentu terulang lagi dalam hidupnya. Ia meraba saku celananya mencari dildo ajaib itu, namun benda itu sudah tidak ada.

“Hehehe…sudah puas kan?” Jin Dildo duduk di kursi sambil tersenyum lebar pada Zuhri yang baru memasuki ruangannya.

“Wah om Jin hebat banget tadi itu, boleh ga minta permintaan lagi nih? Yah boleh yah!” Zuhri memohon karena masih ingin mencicipi kenikmatan seperti tadi lagi.

“Eit…eit, jangan serakah, tugas gua udah selesai sekarang, gua harus pergi sekarang, di dunia ini masih banyak orang lain yang fantasi seksnya belum terpenuhi yang memerlukan saya, lain waktu siapa tau kita bisa berjumpa lagi” Jin Dildo bangkit mengibaskan jubahnya menutupi tubuh kurusnya.

“Eeehh…tunggu dong om Jin!” sahut Zuhri menghampirinya namun asap tiba-tiba mengepul di sekitar Jin Dildo sebelum akhirnya menghilang bersama sosoknya.

“Yah hilang deh!” Zuhri menghela nafas kecewa, namun bagaimanapun ia puas karena telah mewujudkan keinginannya.

Setelah beres-beres Zuhri pun mengunci ruangannya dan menuju ke arah lift untuk pulang. Ia bersiul-siul senang setelah kejadian barusan, dalam hatinya berpikir apakah Arline dan Karina akan memberinya jatah lagi hari-hari ke depannya. Jadi senyum-senyum sendiri ia membayangkannya.

“Eehh…tunggu, tunggu sebentar!” sahut Zuhri berlari kecil ke arah pintu lift yang mau menutup dari arah agak menyamping.

Pintu kembali membuka karena ada orang dari dalam menekan tombol open yang menahan pintu tersebut menutup lagi.

“Phewww…makasih ya!” kata Zuhri, “Hahhh!” ia langsung tersentak kaget, jantungnya seakan mau berhenti, melihat Ivan Gunawan yang ternyata menahan tombol lift.

“Idih…ternyata di sini, dicariin kemana aja daritadi!” kata Ivan dengan gayanya yang khas.

“Wadooww!! Tobatt!!” jerit Zuhri, sebelum ia sempat keluar lagi, pintu lift telah menutup dan si diva jadi-jadian itu telah merenggut kerah belakangnya.

“Ooomm Jin…tuollloonnggg!” terdengar suara sayup-sayup dari dalam lift.

Sementara itu dildo berkepala babi itu kini telah tergeletak di tempat lain di dunia ini, menanti siapapun yang memungut dan mengeluarkan si jin penunggunya yang siap mewujudkan fantasi seks terliarnya.

Share this content:

Post Comment

You cannot copy content of this page