Loading Now

Incest Bersama kakaku part 2

Sebut saja nama fakultasku dengan sebutan Fakultas Sains atau FS. kalau aku panjangkan, ketahuan nanti kampusku. Program studi yang aku ambil adalah Statistika. Sementara Ines yang tahun ini semester lima, dia masuk Fisika.

Di luar gerbang kampus, di sinilah aku berada. Melihat jam di tangan sudah pukul 6 lebih beberapa menit. Ya, aku sudah tiba di kampus idamanku. Banyak bertebaran lautan manusia dari beberapa elemen. Dimulai dari Satmenwa berbadan tegap lagaknya seperti prajurit TNI. Turut hadir puluhan mungkin ratusan panitia acara -kakting- memakai seragam lengan pendek warna hitam mix putih kayak model seragamnya buruh pabrik, dan bagi pantiia wanita berjilbab memakai manset hitam menutupi aurat pada tangan. Lalu, ikut hadir di dalamnya dosen-dosen termuda sampai tua bangka memakai kemeja biru muda. Terakhir ada ribuan maba cupu dan culun. Sebagian maba diantar kerabat, dan sebagian naik transportasi umum. Sebab, para maba tidak diperbolehkan membawa kendaraan sendiri.

Kalau aku? Itu diantar Mas Ardi. Lelaki berusia 23 tahun yang tak lain pacarnya Ines. Mereka sudah menjalin hubungan selama satu tahun. Bahkan Mas Ardi sudah kenal dan akrab dengan kami sekeluarga. Oh, iya. Mas Ardi ini kelak akan menjadi kakak iparku. Orangnya ramah, baik, dan sopan. Soal fisik dia lebih tinggi sedikit dari aku. Ada paling 178. Badannya lebih berisi sih dibanding aku yang kurus. Latar belakangnya berasal dari keluarga cemara. Yang mana, dulunya ibuku dan mamanya Mas Ardi itu teman lama. Jadilah pada saat lebaran tahun lalu, dua keluarga ini bertemu. Silaturahmi. Dan secara kebetulan, Ines sama Mas Ardi ada ketertarikan dan cocok. Pacaranlah mereka. Satu lagi, Mas Ardi ini tidak satu kampus sama aku dan Ines. Dia anak PTN di daerah barat, semester akhir, dan ambil program studi PKO. Sudah bisa ditebak kan dia anak kampus mana?

Aku rapikan sebentar dasiku sebelum berjalan. Tak lupa mengancingkan almamater biru yang tersemat di badanku. Beres. Sekarang, aku yang sudah memakai semua outfit standar maba minus sepatu yang lupa kalau harus full hitam, jadinya aku malah pakai sepatu Macbeth yang stripnya kuning keemasan. Sebenarnya agak khawatir juga kalau disemprot sama panitia. Apalagi melihat wajah-wajah garang Satmenwa.

Singkat cerita, hari pertama acara PKKMB atau yang biasa dikenal ospek ini berjalan lancar. Pinginnya berkata begitu. Akan tetapi, pas tadi ishoma di jam 12 siang, aku ditarik sama Ines. Ini gara-garanya aku salah pakai sepatu terus mulutku masih bau minuman sisa semalam. Padahal aku sudah kumur-kumur pakai penyegar mulut plus gosok gigi dua kali. Ditambah aku sarapan pakai jangan lodeh (baca: sup lodeh). Ines seperti biasa marah-marah lagi. Walaupun dia kelihatan lelah dan ngantuk -telrihat dari kantung matanya yang menghitam- tapi mendengar suaranya seperti toa masjid, sepertinya dia masih Ines yang sama. Tidak berubah. Galak dan menyebalkan.

Singkat cerita, acara hari pertama berakhir di jam 4 sore. Eh? Atau jam 5. Lupa. Pokoknya aku pulang sambil menunggu Mas Ardi menjemputku.

Ngobrol sepanjang jalan. Sedikit membahas soal kewarasan Mas Ardi yang betah sekali pacaran sama si galak Ines macam ibu tiri. Sementara Mas Ardi hanya tertawa saja. Tawanya sudah seperti gergaji mesin gagal menyala. Bajingan.

Sampai di rumah.

Ternyata dua entitas sudah duduk anteng di ruang tamu sebelum aku sampai duluan. Ayah dan ibuku ada di sana. Menyambutku dan Mas Ardi.

Kami bercengkrama berempat. Sesekali kulihat Mas Ardi kurang nyaman akan pertanyaan serta tatapan ayah yang tidak biasa. Mboh kerasukan setan apa ayahku sore ini. Yang jelas, Mas Ardi agak kikuk tidak seperti biasanya saat menghadapi ayah dan ibu di rumah.

Sekalian Mas Ardi menunaikan sholat maghrib dan ikut makan malam, lanjut ngobrol lagi para laki-laki di teras sambil sebal-sebul memanjakan paru-paru. Tak lama, Mas Ardi pamit pulang.

Sepeninggal Mas Ardi, aku masih duduk di teras. Melepas lelah dan rodok kelempoken rek mangan porsi kuli aku. Asu.

Ya wes hari pertama sebenarnya ada beberapa kejadian yang masih membekas. Namun, karena aku ingin memfokuskan dan mengerucutkan cerita hanya tentang aku serta Ines, jadinya tak aku ceritakan di sini agar tidak melebar ke mana-mana.

Jadi, ya gitu aja, cok. Kegiatan serta rutinitas biasa seperti orang lain. Aku mengikuti PKKMB sampai hari keempat. Di last day, ada UKM Expo plus konser musik. Para maba sendiri diwajibkan ikut minimal satu UKM. Ya jelas aku langsung masuk UKM sepakbola meski aku tak punya niatan untuk jadi bintang di sana. Hanya sebatas formalitas sajalah biar kelihatan Ines. Kalau sampai aku tak mengikuti satu-dua kegiatan, berangkat aku cok saat ini juga ke THT. Jembut.

So, sampai di hari-hari berikutnya aku masuk kuliah pun, tak ada yang istimewa antara aku dan Ines. Aku sibuk bonding bersama circle baru. Sedangkan Ines berjibaku di kampus ditemani Mbak Abika dan kawan-kawan wanitanya.

Btw, soal teman-teman. Aku punya beberapa kenalan. Lelaki dan peremuan, tentu saja. Kalau yang lelaki aku punya satu yang sefrekuensi. Aku memanggilnya Kempong. Soalnya pipinya itu tirus sekali, cok. Kebanyakan merokok dia itu. Beneran. Aku kalau melihat Kempong yang postur tubuhnya hampir sama kayak aku ini jadi berasa si kembar yang lahir dari memek Dewi Durga. Wajahnya itu sudah seperti fuckboy. Bogang saja sampai lewat jika disandingkan sama teman baruku ini. Satu lagi temanku yang ternyata satu SMA sama aku dulunya. Dia anak IPA. Aku panggil dia Bibah. Potongan nama belakangnya. Anaknya kalem, anteng, dan pintar. Sayang, dia mengambil program studi Teknik Kimia. Beda fakultas, jelas. Padahal aku ingin memanfaatkan dirinya yang kelihatan lemah itu untuk membantuku mengerjakan tugas, dan lain-lain. Asu, deh. Niat buruk memang tak selamanya berjalan mulus.

Singkat cerita, sudah mau sebulan aku menikmati menjadi maba. Ada satu kejadian lucu dan agak membuat tegang, sih.

Jadi gini, rek. Seperti tahun-tahun sebelumnya, RT 07 punya kegiatan unik mengadakan nobar untuk mengenang kembali insiden pilu Chaos Bendera Merah di tanggal 30 September. Tahu, kan, ya? Nah, di sini aku selaku pemuda karang taruna membantu mempersiapkan segala tetek bengeknya di lapangan tempat biasa digunakan lomba 17-an. Dari sore hari sampai habis isya, kami para lelaki sibuk menata peralatan. Singkat cerita, dekdok beres, konsumsi aman, dan info untuk berkumpul di jam 23.30 kepada seluruh warga RT 07 di group BBM. Setelah itu, Mas Kodok selaku ketua karang taruna mengistirahatkan para anggotanya ini untuk balik ke rumah dulu. Nanti panitia bisa langsung merapat lagi jam 9 malam.

Semua balik badan ke rumah masing-masing. Aku berjalan berdua sama temanku yang rumahnya tepat di kiriku. Lalu, kami pisah jalan. Masuklah aku ke rumah. Kebetulan pintu rumah kebuka. Ada ayah sedang menjamu dua temannya di teras. Aku salim dulu, dan langsung naik ke lantai dua tanpa menoleh ke kanan-kiri. Tapi, langkahku terhenti saat melihat Ines yang pintunya kebuka. Ines ini kamarnya ada di tengah. Kamar depan dibiarkan kosong karena difungsikan sebagai kamar untuk saudara atau tamu numpang nginap. Sementara kamar belakang itu kamar orang tuaku. Nah, yang bikin aku agak deg-degan, posisi Ines telungkup di atas kasur sambil nonton drakor di tablet. Pakai headset pula. Pantatnya yang bulat dilapisi celana pendek sepaha itu bikin aku kesal. Lho, kenapa kesal? Bukannya senang, ya? Tidak. Pada waktu itu, yang ada di pikiranku hanya melindungi dan menjaga para wanita di rumah ini. Sebab, melihat kembali ada tamu di rumah, terlebih itu laki-laki, nah kalau mereka yang tiba-tiba lewat dan lihat bokong Ines yang semok itu apa tidak bahaya? Ya bahaya sekali, bangsat! Aku ini laki-laki. Aku sudah tahu isi otaknya garangan itu seperti apa, jancok.

Tanpa perasaan sange atau birahi, aku masuk ke kamar.

POK!

445423584_122147381126166925_8760532773949961550_n-508x1024 Incest Bersama kakaku part 2

Aku tepuk satu buah pantat Ines. Sontak saja Ines kaget. Refleksnya dia itu mukul. Gampang saja aku menghindar. Sudah hafal gerakan.

“Onok tamu ndek ngarep, ndeng. Lapo mbok buka lawangmu?” (Ada tamu di depan, gila. Kenapa kamu buka pintumu?) aku menunjuk ke arah pintu sambil menatap tajam ke arah Ines.

Ines yang sudah mencak-mencak langsung anteng. Dia duduk bersila di atas ranjang yang nampak tercetak belahan memek. “Aku ndelok film ket mau ndek kene. Gak eroh lek onok dayoh, Dek.” (Aku lihat film daritadi di sini. Tidak tahu kalau ada tamu, Dek.)

“Kakean alasan. Cepet gantien celonomu, ojok koyok ngunu.” (Kebanyakan alasan. Cepat Ganti celanamu jangan seperti itu.)

Setelah mengatakan itu, aku melengos pergi. Menutup pintu kamar Ines. Mungkin karena sedang dirundung kemarahan overthinking kakak perempuanku dilihat oleh lelaki lain, jadinya aku menutup pintu agak keras. Ayah dan para tamunya sampai menoleh. Pun ibu yang ada di dapur sedang menyiapkan minuman langsung menghampiriku.

“Adek lapo maneng?” (Adek kenapa lagi?) tanya Ibu.

Aku menggeleng singkat. “Gak po-po, Buk.” (Tidak apa-apa, Buk.)

“Gelut maneh, ta?” (Bertengkar lagi, kah?)

“Enggak, kok. Santai, Buk.” Aku menjawab sebiasa mungkin. “Wih, Ibuk masak opo kok uwangi ngene bengi-bengi?” (Wih, Ibuk masak apa kok harum sekali begini malam-malam?) tanyaku, nyelimur.

“Itu lho buat melekan nanti malam di lapangan. Gorengan biasa. Cuma Ibuk nggak bikin petes.”

“Halah, wes gak opo, Buk. Arek-arek mek dikek’i gorengan karo lombok wes cukup.” (Halah, sudah tidak apa-apa, Buk. Anak-anak hanya dikasih gorengan sama cabai sudah cukup.)

“Iyo. Wes kamu ndango mandi, Dek. Ambumu kecut.” (Iya. Sudah kamu buruan mandi, Dek. Baumu kecut.)

“Siap, Bos.”

Sat-set, wat-wet!

Sambil membawakan satu tempeh berisikan puluhan gorengan plus tersebar belasan cabai warna hijau, aku melangkah menuju lapangan ditemani Ines. Iya, Ines minta ikut. Entah apa yang merasuki kakakku yang semok ini. Padahal dia paling tidak bisa meninggalkan drakornya kalau sudah fokus penuh.

Tak ada obrolan di antara kami. Hanya Ines yang berjalan dalam diam di sampingku. Malam ini dia berpakaian rapi seperti mbak-mbak berjilbab pada umumnya. Tak kelihatan ketat. Biasa saja. Orang bisa mengira kalau dia pengemis. Tangannya yang pegang ponsel, sesekali membalas pesan. Chatting sama pacarnya, siapa lagi? Sesekali dia cekikikan seperti orang gila. Geblek.

Singkat cerita, dimulailah acara nobar Chaos Bendera Merah. Aku dan panitia merapat di pinggir lapangan. Menikmati rokok dan kopi hitam yang kutuang ke dalam gelas plastik. Kalau ada yang mencari Ines, itu anaknya lagi di tengah-tengah bidadari komplek sibuk bergosip dan sesekali menatap ke arahku. Bajingan. Sepertinya orang ganteng ini jadi bahan ghibahan, hehehe.

Film selesai. Tamat. Para warga yang hadir meramaikan ikut membantu membereskan kekacauan. Sebentar, semua sudah rapi lagi. Sampah-sampah telah dimasukkan ke dalam tong sampah.

Pulang. Tentu aku berjalan paling akhir bersama tetanggaku. Di sisi lain, Ines sudah lebih dulu pulang tanpa ada niatan membantu anak karang taruna. Ancene sontoloyo!

Bulan September, hampir dipastikan tak ada hal-hal yang berarti antara aku dan Ines. Namun, ini dari sudut pandangku. Barulah aku tahu dari sudut pandang Ines sendiri saat hari di mana hubungan kami maju selangkah. Ya, cerita berikutnya akan maju lebih cepat menuju acara LKMM-TD di luar kota. Mengabaikan sejenak pengalaman bertempurku bersama seorang gadis yang aku pacari, lalu di kemudian hari aku tinggalkan, dan lebih memilih menjadikan Ines satu-satunya ratu di hatiku.

Baru beberapa bulan jadi seorang mahasiswa kampus ternama, ada beberapa perubahan signifikan pada diriku.

Pertama, aku yang sekarang lebih suka memperhatikan penampilanku. Tidak seperti dulu yang kasarnya seperti gembel. Kulitku sudah agak cerah, sedikit. Rajin pakai parfum, bahkan merelakan uang saku bulanan untuk beli parfum yang harganya cukup mahal hanya untuk mengincar wanginya. Secara berkala rutinitas jogging, ibadah, dan mengerjakan tugas yang diberikan dosen matkul aku laksanakan tanpa ada yang menyuruh. Mungkin melihatku yang perlahan berubah jadi kalem ini, Ines sampai heran sendiri. Dia sampai repot-repot bertanya ini-itu meski tidak penting-penting amat. Temen gak penting!

Transformasiku di dunia perkuliahan ini bukan serta merta mencari perhatian lawan jenis. Bukan karena itu. Ini semata-mata demi menjaga marwah dan ngajeni diri sendiri sebagai anak kampus ternama. Walaupun tidak mahal, yang penting aku ke kampus tampil rapi, bersih, dan wangi. Hal itu jelas mengundang mata betina. Dari teman SMA-ku si Bibah, teman sekelasku spek tobrut jahat, sampai kakting anak HIMA.

Perlahan demi perlahan, sambil tetap mempertahankan fokus belajar, aku imbangi dengan ngopi dan memperbanyak teman. Entah sesama orang Jawa atau luar Jawa. Semua aku temani. Sampai tibalah UTS dan UAS. Semua aku lalui tanpa rintangan. Karenanya, aku bersama geng baruku di kampus mengadakan pesta kecil-kecilan setelah puas melihat hasil KHS alias Kartu Hasil Studi kami.

Ada aku yang turut mengajak Ambon. Kempong dan lima teman sekelasku. Total kami berdelapan berangkat ke puncak T. Kami berangkat di hari Sabtu siang boncengan -karena sebagian temanku tidak ada kendaraan-. Menyewa villa hasil uang patungan. Soal minuman (alkohol) dan kudapan lainnya urusanku sama Ambon. Ya ini dia alasan aku mengajak Ambon biar aku tidak tekor amat, cok. Setan.

Cerita selanjutnya sudah jelas mengarah ke enak-enak, dong. Kami memutar alkohol dibandari Ambon. Sementara urusan bakaran seafood, ayam, daging sapi, dan berbagai nugget kami bahu membahu saling membantu. Sampai tak lama, datanglah tukang ojek mengantarkan teman tidur untuk kami. Ada tiga ladies yang kesemuanya berada di umur 20-30. Ini dananya dari aku, Ambon, sama Kempong. Jamput, lupa kalau ada Kempong. Iya, Kempong ini sudah mengenal seluk beluk tempat ini dibanding aku yang bukan tipikal pengentot handal karena waktu itu aku masih dibayangi pikiran negatif akan penyakit HIV dan sejenisnya.

Malam itu, kami mengajak para ladies join minum dan bakaran. Mereka menemani kami sampai shubuh hari, lalu balik dijemput tukang ojek. Sementara kami berdelapan sudah tepar kehabisan cakra menumpahkan sperma bergantian ke dalam memek. Intinya, ladies yang kami datangkan itu bisa dipakai sampai dengkulmu kopong, rek. Dengan catatan, pakai kondom. Aku sendiri ya cuma dua kali ngecrot. Itu pun burungku tidak langsung ereksi karena aku dalam berhubungan badan mengedepankan perasaan. Tanpa perasaan, mau ngecrot sampai matek ya rasanya hambar. Di sisi lain, aku merasa senang akan kebersamaan serta kekompakan kami kala itu. Kalau ada salah satu dari kalian membaca tulisan ini … balekno korek zippoku cok, dancok, asu, wedhus, gathel raimu!

Keesokan harinya, kami enjoy the day karena udara di puncak berkabut. Cukup dingin karena kami datang di musim hujan. Di villa, kami berdelapan masih tetap bercengkrama. Mengobrol satu sama lain. Saling berbagi cerita ditemani sarapan dan makan siang yang kami beli dengan menyuruh penjaga villa untuk memesankan kami makan.

Waktu demi waktu berlalu. Tepat setelah waktu ashar lewat, kami berdelapan pulang. Mampir andhok bakso karena badan kami kathuken terkena hawa dingin puncak T.

2f27edf2b102f1cf28448f466b852735-1-819x1024 Incest Bersama kakaku part 2

Singkat-singkat sajalah, ya. Setelah aku menurunkan Ambon di rumahnya, sekalian ngobrol basa-basi sama Abah dan Umik -orang tuanya Ambon- aku pun pamit pulang. Sedikit aku bongkar. Aku semenjak punya ketertarikan dengan wanita paruh baya ketika dulu SMA punya wali kelas pengganti bernama Bu Arum yang entotable, umiknya Ambon ini kerap menghiasi fantasi nakallu sebelum tidur. Padahal aku sendiri begitu respect kepadanya. Tapi anehnya, semakin hari, umiknya Ambon kian aduhai. Ada rasa ingin mengajaknya naik ranjang. Sayang, nyaliku lebih kecil dari seonggok itil Miyabi. Nggapleki.

“Yang, kamu udah her-registirasi?” tanya seorang wanita via telepon pada suatu pagi di awal bulan Februari. Namanya Febi. Dia ini pacar pertamaku semenjak aku menginjakkan kaki di kampus ini. Cewek spek angkot. Tidak punya air bag alias tepos. Hanya saja, spek Esmeralda-nya yang suka bikin cenat-cenut. Tidak pakai hijab. Rambutnya lurus, hitam, dan suka dikuncir kuda. Kulitnya putih bersih seperti susu. Dadanya ya tepos. Kiranya sebesar nasi KFC dibelah dua, ter.

Aku yang baru saja menyelesaikan sarapan pagi menunggu Ambon yang katanya mau main ke rumah, langsung menjawab, “Belum, Yang. Ini juga aku lagi nunggu temenku minta anterin ke kampus. Aku nggak ada kendaraan sama sekali di rumah. Dua motor masih dipinjem saudara.”

“Aku ya belum. Aku jemput aja, ya? Biar kita bisa berangkat barengan.”

“Inget ta jalan ke rumahku?”

“Kalau dari arah jalan W lurus terus sampai jalan LS, kan? Yang ada perempatan lampu merah belok kiri?”

“Iya, Yang. Tapi berani ta kamu ke sini? Banyak orang iseng lho di daerah rumahku. Kamu tau sendiri, kan?”

“Udah nanti aja ngobrolnya, Yang. Aku mau otw dulu. Keburu siang. Belum antri di bank.”

“Iya wes, hati-hati kamu. Helm sama lampumu dinyalakan, Yang.”

“Siap, Yang.”

Febi ini gadis cantik yang satu angkatan sama aku. Beda prodi, tapi satu fakultas. Dan dia satu fakultas sama Ines, cok. Dua kali Febi kuajak main ke rumah untuk aku kenalkan ke keluargaku. Bukan apa-apa, aku sendiri memang setulus itu kalau sama wanita. Satu ya satu. Tentu saja insiden ngentot di villa pengecualian, rek.

Soal pertemuan pertamaku dan Febi bermula saat hari keempat alias hari terakhir PKKMB. Dari sanalah kami kenalan. Tukeran ID LINE. Setelah melalui beberapa tahapan pendekatan alami tanpa embel-embel kesombongan memamerkan harta kekayaan, aku dengan kesederhanaanku mampu menggeser beberapa cogan yang sudah antri untuk ikut bersaing merebutkan hati Febi.

Karena sekarang Febi berada tepat di depan rumahku, sudah jelas bukan siapa pemenangnya?

Berangkatlah kami. Mengabaikan telepon dari Ambon yang menyumpah serapah dari speaker ponsel yang kuselipkan di helm sebelah kiri. Maaf, ya, Mbon. Bestiemu ini mau mbucin dulu. Dadah, Mas Ambon seng ireng koyok hajar aswad. Btw, diriku sudah tidak masuk ke dalam sekte lelaki berkulit ireng, rek. Sudah jauh mendingan akibat dipoles sama Febi. Apalagi aku agak berisi dan selalu murah senyum. Hahasyu!

Oh, iya. Hal penting lainnya ingin aku sampaikan. Aku dan Febi sudah naik ranjang beberapa kali. Saat pertama kali, tentu dia masih perawan. Dan perawannya aku robek di malam tahun baru saat kami healing berdua ke kota plat N. Febi tipikal wanita yang mirip-mirip Sintia. Suka heboh sendiri. Manja. Bucin. Aku bahkan mengalami fase jatuh cinta pada pandangan pertama ya sama Febi. Lahdalah Febi-nya juga merasa demikian. Yang paling kusukai darinya itu bodynya yang langsing. Enak kalau pas gaya duduk berhadapan atau pas aku gendong sambil mengangkat satu kaki. Beh, meledak bum spermaku di luar. Jelas semprot di luar, rek. Aku sekarang wes pengalaman, yo! Belajar mengeluarkan lendir yang baik di distrik kenthunian bersama sobat remek Mas Penceng dan kawan-kawan wong terminalan. Salam gawe kabeh bolo-boloku.

Kembali lagi soal Febi. Wajah cantiknya khas cewek plat N kalau lagi manyun itu suka bikin aku lupa diri jikalau aku ini seorang pendosa yang berani merusak si dara. Terlalu banyak dosa yang tergambar di kanvas putih saat langkah demi langkahku menapaki dunia yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Sinting.

Sebelum ke kampus, kami menuju bank untuk transfer. Kami mengurus her-registrasi. Kalau aku sih tinggal duduk manis menunggu Febi yang membayarkannya untukku. Entahlah. Kalau sudah bersama Febi, rasa-rasanya aku malah seperti anak kecil. Apa-apa harus sama Febi. Cangkruk juga yang mesan minum dan makan dihandle Febi. Semua serba Febi, Febi, dan Febi.

Beres dari bank, meluncurlah kami ke kampus. Kami menuju BAAK minta stempel tanda bukti jika kami sudah melakukan pembayaran untuk semester 2.

Selasai dari BAAK, bertolak kami menuju parkiran gedung FS. Belok lagi ke belakang menuju area taman yang asri. Ada tempat duduk dari kursi besi di beberapa sudut pandang. Aku dan Febi menuju kursi yang kosong. Kami berdua mengisi KRS. Setelah itu, mencetak hasil KRS ke tukang foto copy yang masih di dalam lingkup kampus syarat akan kesasar ini. Asu.

Satu persatu urusan di kampus selesai. Menuju rektorat dan menghampiri kaprodi masing-masing dan dosen wali untuk meminta tanda tangan persetujuan. Semua aman terkendali. Kami pun turun memakai lift. Kebetulan lift sepi, hanya ada kami berdua. Karena dorongan masa muda yang lagi panas-panasnya, aku nyosor duluan ke bibir Febi. Febi menyambutnya. Singkat saja ciuman kami. Dan kemudian, kami sepakat cari makan terlebih dahulu, lalu berakhir memadu kontol dan memek di kostan Febi di daerah timur yang terkenal akan rujak cingurnya. Tahu, kan? Hahaha.

Segila dan seliar itu aku. Tak ada yang aku takutkan sama sekali kecuali amukan Tuhan dan ibuku. Sayang, aku tak ingin bertele-tele menuliskan di sini tentang perjalananku mengepalkan tangan. Bukannya sok jagoan, memang dari awal aku sudah kurang ajar orangnya. Tapi balik lagi. Ini ceritaku. Ini duniaku. Dan inilah jalan hidupku.

Sekarang, hari yang dinanti-nantikan seluruh jamaah maba FS kampus negeri angkatan 2014 telah tiba. Menumpang di mobil tentara, kami para maba genapkan saja satu fakultas berisikan 3000 maba, berangkat menuju luar kota mengikuti serangkaian acara LKMM-TD yang digelar selama 3 hari.

Dari 3000 maba beda prodi ini, kami dibagi menjadi kelompok berisikan 20 orang. Satu orang menjabat sebagai ketua kelompok ditemani kakak pendamping yang bisa disingkat Kambing. Aku lupa tergabung ke kelompok berapa. Pokoknya, aku bersama salah satu temanku yang pernah aku ajak pesta di puncak T. Namanya panggil saja Kaye. Pemuda dari pulau berjuluk Seribu Masjid. Puji Dewa Marmut, aku juga satu kelompok sama Febi yang mengambil jurusan Fisika itu. Sementara satu Kambing bernama Mbak Indah membina kelompok kami.

Singkat cerita, sampailah kami di lokasi. Di bulan Februari ini, curah hujan cukup tinggi. Kami para maba berjalan dari tempat pemberhentian truk menuju puncak di mana lokasi LKMM-TD berada. Tidak ketinggalan aku yang selalu berada di samping Febi. Memastikan pacarku baik-baik saja di bawah jas hujan kreseknya.

Sampailah kami di bangunan villa milik lahan pribadi kampusku. Di sini, ada beberapa gedung yang berhadap-hadapan. Tempat peristirahatan mahasiswa putra dan putri dipisah. Lalu, selepas bersih-bersih bergantian di villa sesuai kamar masing-masing (satu kamar berisikan 6 orang) para senior yang merangkap menjadi panitia acara menggiring kami untuk menghadiri briefing, lalu masuk ke acara pembukaan, sambutan, penyampaian rundown hari pertama, hiburan seni, game kecil-kecilan, sampai ceramah singkat dekan di atas panggung sebagai penanggung jawab LKMM-TD angkatanku.

By the way, kalau ada yang tanya Ines, dia masih setia berdiri mematung di pojok ruangan memastikan jalannya acara sesuai agenda. Yah, meski ngaret dua jam dari jadwal yang seharusnya. Saat maba dibubarkan pun, aku dan Ines saling melempar pandang. Hanya mengangguk kecil, lalu buang muka. Sedingin itu kami berdua.

Sampai di luar gedung pertemuan pun, hujan masih tak kunjung reda. Dreescode para maba berupa kaus olahraga pemberian kampus plus celana training bawa sendiri-sendiri, mau tak mau harus basah untuk mencapai tempat istirahat kami. Kondisi agak sore. Mengarah ke maghrib. Tak ada yang bisa menghentikanku, Kaye, dan teman sekamarku untuk merokok di belakang villa yang cukup teduh buat menikmati hujan.

Sampai akhirnya, panitia bagian keamanan yang suka keliling memergoki kami. Mereka ada dua orang. Sepasang laki-laki dan perempuan. Satu dari mereka aku kenal. Yang perempuan itu kakting sekaligus kakak kelasku sewaktu SMA. Anaknya memang berprestasi. Bahkan menjadi bagian dari OSIS. Tak mengherankan wanita yang kupanggil Mbak Ghea itu tergabung ke dalam kubu kepanitiaan.

Sambil keduanya marah-marah dan membentak ke arah kami, imbasnya rokok kami berenam disita sama mereka. Bajingan. Parahnya, melalui HT radio, Mbak Ghea mengabarkan rekan-rekannya untuk ke villanya anak cowok. Hancur sudah diriku. Malu semalu-malunya. Apalagi Ines ikut datang. Terlebih Mbak Ghea secara sengaja melimpahkan masalah ini dengan aku penyebabnya. Keparat.

Sebenarnya, aku tidak takut sama apa pun. Yang aku takutkan, Ines ngereog detik ini juga. Namun, sepertinya dia masih bisa menahan diri. Sambil para panitia menyita seluruh rokok anak maba (bahkan ada yang bawa Amer cok) aku dan kelima teman satu kamarku diseret keluar. Kami dimarahi habis-habisan. Setelah itu, kelima temanku disuruh kembali. Kini, tinggallah aku dan Ines di gedung tempat pembukaan sebelumnya. Ada beberapa Kakting di sana. Mereka sepertinya orang-orang penting dari BEM, Senat, dan HIMA. Turut serta satu dosen pembimbing. Mereka melirik ke arahku dan Ines sebentar, lalu lanjut mengobrol sambil berjalan ke samping gedung.

Kini, aku dan Ines sedang berdiri berhadap-hadapan. Menyamping. Posisi agak di pojok. Ines mengomel dan terus mengomel. Keras, tegas, beringas, dan pedas! Lengkap sudah penderitaan hari ini. Bahkan aku sampai belum ada kesempatan menanyakan kabar Febi. Apakah pacar teposku itu baik-baik saja atau tidak.

Bentakan dan teriakan Ines disertai curhat. Dirinya juga manusia. Punya rasa capek. Apalagi kondisi hujan seperti ini. Jadwal jadi sedikit molor dan banyak terbuang. Dan lain sebagainya curhatan dengan pelototan mata tajam. Asu.

Sesungguhnya, diriku ini sudah biasa menghadapi amarah Imes. Hanya saja …

“Kon yo lek gak isok meloki aturan seng tak gawe, moleho! Ngisin-ngisini aku ae kon. Arek koyok gak tau rokokan. Lapo? Kape caper nang sopo kon guayamu sebal-sebul? Wes mbois a raimu? Jancok adek guoblok!” (Kamu ya kalau tidak bisa mengikuti aturan yang aku buat, pulanglah! Bikin malu aku saja kamu. Anak seperti tidak pernah rokokan. Ngapain? Mau cari perhatian ke siapa kamu banyak gaya sebal-sebul? Sudah gantengkah kamu? Jancok adek bodoh!) Ines bentak-bentak parah.

“Adem, Nes. Kan aku rokokan yo nang mburi iku, seh. Cuma koncomu seng membesar-besarkan.” (Dingin, Nes. Kan aku rokokan ya di belakang itu, sih. Cuma temanku yang membesar-besarkan.) Aku bantah. Memberi pembelaan diri meski percuma.

“Lek salah ngaku salah, cok, jancok! Ibuk karo Ebes pegel-pegel kerjo gawe kon, kon ojok sakkarepmu dewe timbangane tak obong pedamu, cok!” (Kalau salah ngaku salah, cok, jancok! Ibu sama ayah capek-capek kerja buat kamu, kamu jangan seenakmu sendiri daripada aku bakar sepedamu, cok!) amuk Ines dengan suara setannya.

“Jancok!” makiku, kencang.

449573400_355256387590934_2292048426627124017_n-576x1024 Incest Bersama kakaku part 2

Pas omongan terakhir Ines bawa-bawa motorku yang mau dia bakar, aku emosi jelas. Lah wong itu motor custom kesayanganku dari awal masuk SMA sampai sekarang. Mana itu hadiah yang dibelikan oleh kedua orang tuaku dengan harapan biar rajin belajar terus masuk ke PTN yang sama seperti ibu.

Nah, dari sini aku sudah mentok. Ikut kebawa emosi akunya, cok. Sampai akhirnya, aku segera pergi dari sana daripada aku baku hantam fisik sama Ines. Mau ditaruh mana mukaku kalau aku berani melukai wanita, terutama kakak perempuanku sendiri. Setan.

Harusnya yang aku lakukan ini bisa meredakan ketegangan di antara kami berdua, namun Ines justru mengekorku di belakang. Langkah, kupercepat. Ines ikut cepat. Sampai di mana, Ines berhasil menarik seragam LKMM-TD bagian belakangku sampai aku hampir kepleset licinnya lantai. Asu tenan, ndes.

Kembali berhadap-hadapan, Ines masih belum puas rupanya. Seolah dia tengah menjadikanku sarana pelampiasan setelah dirinya direpotkan menjadi panitia hingga menginap seperti saat PKKMB dulu kala.

Aku jengah. Aku semakin marah. Tanpa aba-aba, aku yang mangkel bin gregeten langsung menjambak kerudung putihnha Ines sampai kepalanya mendongak. Aku menatapnya marah. Lalu, kugigit bibirnya yang tebal agak ndower itu. Bajingan.

Gila. Aku gila. Ini bibir kakakku sendiri. Bibirnya Ines. Wanita yang sudah pacar. Terlebih, aku seperti bukan aku. Tak hanya Ines yang lelah secara fisik dan mental. Aku pun demikian. Berjalan hujan-hujanan naik ke sini beberapa waktu yang lalu menguras fisikku. Belum lagi aku mengambil alih barang bawaan Febi serta membantunya berjalan menanjak ke atas. Bangsat.

BLAM!!!

Seperti yang pernah aku katakan sebelumnya, refleksnya Ines ini main tangan. Dia tak segan-segan menampar, mencubit, bahkan memukul. Kali ini, kepalan tangannya sukses menghantam rahangku sampai aku tersentak. Bibir kami terlepas. Darahku semakin mendidih. Entah bagaimana wajahku kala itu, yang jelas Ines sampai melotot dan menunjuk wajahku dengan bibir bergetar.

Cup!

Aku memang sedang emosi sekali. Darahku sungguh panas. Tak ada yang boleh mengaturku, bahkan Ines sekali pun. Aku rengkuh tubuh Ines. Rapat. Erat. Dadanya menggencet dadaku. Tinggi kami yang tidak setara, membuatku sedikit menunduk untuk bisa menjangkau bibirnya. Memagutnya. Hangat. Enak. Nyaman.

DEG!

Yang kemudian, darahku berdesir. Timbul perasaan aneh di dalam diriku. Ines sendiri juga geblek. Harusnya dia seperti biasa memukulku. Atau tidak menjambakku. Asunya, dia malah diam beberapa saat. Bahkan bibirnya sedikit bergerak, lalu terbuka. Matanya sayu setengah terpejam. Pipinya bersemu merah. Hal yang biasa aku temui saat pacarku Febi mulai naik birahinya.

Aku cepat sadar. Aku lepaskan ciumanku di bibirnya. Meninggalkan perasaan aneh campur aduk dan bingung. Linglung. Aku pergi dari sana. Mengabaikan satu orang yang berdiri di dekat pintu besar bangunan utama. Di sana, ada Mbak Abika yang mematung tanpa berkedip sedikit pun.

Sebelum aku benar-benar pergi, Ines memanggilku. Kali ini dia menatapku sama bingungnya. Lalu, dia berkata dengan nada lembut agar aku tidak mengulangi perbuatan yang bikin malu dia di depan teman-temannya. Aku iyakan saja.

Masih dengan nada lembut, Ines berkata serak, “Entar malem habis ishoma disiapno perlengkapan buat acara selanjute, ya, Dek.”

Aku menatapnya dengan kerutan di kening, lalu mengangguk saja, kemudian balik badan. Berjalan agak cepat menuju villa tempat kelompokku berada membawa serta sejuta rasa yang tak kupahami biarpun aku sudah berusaha keras mencari tahu gerangan apa yang terjadi barusan.

Ines bangsat! Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai aku merasakan benih-benih cinta seperti cintaku yang sudah kupercayakan ke Febi. Jangan sampai!

Dek, bangun. Acarane sebentar lagi mulai.

Tumben cewek pemarah itu chat duluan? Sebenarnya, aku tidak tidur setelah peristiwa yang kualami bersama Ines. Peristiwa itu sengaja. Iya, aku sengaja menciumnya. Berlindung dibalik kata sedang dikuasai setan pun rasa-rasanya terlalu konyol, dan … koclok. Aku jambak rambutku, frustasi. Memikirkan ini seorang diri tak akan menemui jalan keluar. Ini harus didiskusikan berdua bersama Ines. Baiklah, sampai acara LKMM-TD selesai, aku akan mengajaknya ngobrol empat mata. Selain ingin memastikan kebenaran akan perasaan yang menggelayuti benakku, aku ingin menegaskan kepada Ines kalau ini itu sebagai tanda sayangku kepadanya sebagai seorang adik. Benar. Sayang sebagai saudara kandung. Betul sekali. Awalnya aku berpikir demikian. Sangat naif dan berbanding terbalik dengan diriku di masa lalu yang tanpa ragu membabat rintangan depan mata.

Aku me-charger ponselku di atas nakas tempat barang elektronik teman satu kelompokku berada. Di zaman itu, ponsel terbagus ya punyaku iPhone 6+ keluaran terbaru. Pucuk ponselku agak lecet karena pernah jatuh pas lagi mengikuti mata kuliah beberapa waktu lalu. Sebelum mematikan data seluler, terlebih dahulu aku membalas beberapa pesan masuk di LINE. Termasuk cintaku, Febi.

Jamput. Aku jadi merasa bersalah sekali sama Febi karena aku sudah membuka gembok sebuah pintu tabu. Tinggal menunggu waktu sampai aku menghancurkan hati Febi hingga dirinya mati rasa sampai saat aku menulis cerita ini. Asu, asu. Mana aku sudah mengambil perawannya, hatinya, dan seluruh waktunya. Bahkan Febi sampai tak punya teman lelaki hanya karena kehadiranku di hidupnya. Sudah percaya seribu persen kepadaku. Bukannya aku posesif sih, cuma Febi pernah menjadi saksi hidup saat aku ribut dengan senior yang menyukai Febi. Andai tak ada Kempong di dekatku, niscaya kepala senior itu aku remukkan dengan helm di tanganku. Bangsat.

Mungkin secara insting Febi mengatakan jika aku ini sedikit dangerous, makanya dia memilih untuk setia. Overall, Febi bisa saja selingkuh, bahkan mencari lelaki yang jauh di atasku. Sangat mudah. Febi cantik almost perfect. Lelaki di kampusku, khususnya kakting, rata-rata cogan bermobil semua. Namun, jalan yang Febi pilih adalah bersamaku. Menjadi kekasihku.

Oke, sudah cukup. Sekarang waktunya memasuki panggung utama di mana acara LKMM-TD selama tiga hari dua malam telah usai, tergantikan kelanjutan antara aku dan Ines.

Tepat di jam 2 siang hari Minggu yang cukup terik, truk tentara mengangkut kelompokku memasuki halaman kampus. Sebagian maba masih bersantai melepas penat di beberapa sudut kampus, sebagian langsung pulang dengan kendaraan masing-masing. Sementara itu, aku dan Febi berada di parkiran gedung FS. Membantu Febi memasang helm. Tengok kanan-kiri, lalu mendaratkan kecupan ringan di bibir pucatnya.

“Aku masih sama anak-anak dulu, Yang. Kamu hati-hati pulangnya. Kalau udah sampai kost, kabarin.”

“Jangan kecapekan, Yang. Kamu kelihatan lelah banget lho ini.”

“Hehehe, nggak apa. Wes biasa. Aku pernah begadang seminggu full.”

“Ngapain?’

“Nggolek yuyu.” (Mencari kepiting.)

Hahahahaha!

Kami tertawa bersama. Tawa pelepas lelah dan rindu. Tiga hari ini, walaupun kami satu kelompok sewaktu LKMM-TD, jarang sekali aku memiliki waktu untuk ngobrol berdua sama Febi. Seringnya bareng kunyuk-kunyuk gendeng. Asu, deh.

Pulanglah Febi dengan motornya sendiri. Motor Beat putih versi lama. Privilege Febi pacaran sama aku ya tidak jauh soal perawatan motornya di bengkel milik ayahku. Gratis tanpa dipungut biaya. Ada yang narik uang ke Febi, tak antemi. Seringan itu tanganku, rek. Bahkan sahabatku Ambon pernah merasakan tinjuku. Tentu saja hasil akhir dimenangkan Ambon yang punya badan seperti genderuwo itu. Masalahnya apa? Rebutan wedokan. Ora penting!

Sepeninggal Febi, aku berjalan menghampiri Kempong dan kawan-kawan. Ada satu tambahan seorang maba seangkatan yang sebelumnya bawa rokok satu slop berujung disita semua oleh panitia. Sakno aku. Namanya Faisal. Tak panggil Kacong. Dia blesteran Madura dan Jawa. Berbeda dengan Meduro pada umumnya yang suka dikit-dikit ngajak carok, Kacong ini tipikal orang yang pasrahan. Contohnya saja pas rokok satu slop yang dia bawa disita, dia tak protes sama sekali. Beda dengan maba lainnya yang melakukan sedikit perlawan biarpun … sia-sia.

Kacong enak dijadikan teman. Tahu sana-sini. Hidupnya banyak di jalanan. Suka memanfaatkan peluang untuk bisnis. Juga sering dimanfaatkan orang lain. Kasihan aslinya. Makanya aku rangkul dia jadi gerombolanku. Sedikit demi sedikit aku mengubah wajahnya yang culun itu jadi seperti kami. Kacong yang dulunya tidak suka minum, sekarang dia jadi ketagihan. Bahkan sering mengajak minum ke kostannya.

Obrolan kami para lelaki tak jauh dari review singkat acara LKMM-TD, gadis-gadis cantik seangkatan, dan tentunya mbak-mbak semlohai super matang melenuk aduhai. Satu-dua orang membahas Ines. Aku sih santai saja. Toh Ines sudah ada pawangnya. Berani merebut Ines dari Mas Ardi, siap-siap ndasmu dikepruk batako. Bajingan.

Gajah Aboh
Posisi?

Rio
Mburi.​

Gajah Aboh
Kamu jangan pulang dulu, Dek.

Rio
Lapo?​

Gajah Aboh
Aku ada evaluasi bentar. Kamu tungguin aku di masjid aja. Sekalian entar kita maghriban bareng.

Rio
Y​

Panjang umur kakak perempuan galakku. Baru saja kami bicarakan, sudah mengabarkan sebuah kabar buruk. Sangat buruk. Bagaimana tidak buruk, lah wong aku niatnya mau menghabiskan waktu bersama teman-temanku untuk nongkrong di daerah pusat. Akhirnya, dengan lapang dada aku katakan kepada Kempong dan rencang-rencang sedoyo jikalau Mas Black yang ganteng ini tidak bisa ikut meramaikan.

Saat tahu alasan kenapa aku tidak bisa ikut, mereka tak punya pilihan selain menghela nafas panjang. Menepuki pundakku. Memberiku semangat agar selalu sabar menghadapi kakakku yang luar biasa seperti Hellgirl. Iya, Hellgirl. Bukan Hellboy. Jancuk!

Berpisah bersama teman-teman seangkatan, aku berjalan kaki menuju masjid. Cukup jauh. Sampai di mana waktu sudah ashar. Sudah lewat setengah jam. Seliweran maba di sana. Aku sih cuek. Segera aku mengambil air wudhu, lalu menunaikan ibadah sholat ashar. Solo saja di pojokan dalam masjid.

Selesai sholat, aku leyeh-leyeh di serambi masjid. Rebahan bantalan tas ransel. Sambil membalas pesan dari Febi yang mengabarkan jika dia sudah sampai kost, blablabla.

Menatap ponsel sembari menikmati sapuan lembut udara sore hari membuat mataku berat. Mengantuk. Lalu, aku terlelap karena kelelahan.

Barulah aku terbangun saat mendengar suara tahrim. Rupanya sudah mendekati maghrib. Cepat aku bangun. Mengumpulkan nyawa. Mengamati sekitar sambil ongap-angop garuk-garuk rambut. Terlihat kakting panitia berjalan dari arah kanan. Termasuk Ines, Mbak Abika, Mbak Ghea, Mbak Indah, dan para figuran lainnya.

“Aku nanti bareng kamu, Dek.” Ines berkata tanpa menatapku. Ya iyalah. Dia lagi sibuk melepaskan dua sepatu di kaki.

“Mbak Bika?” tanyaku, menyelidik.

“Bika pulang sendiri.”

“Lapo gak ngongkon Mas Ardi mapak kon mrene?” (Kenapa tidak menyuruh Mas Ardi menjemput kamu ke sini?)

“Kupingmu budeg! Aku sama kamu ya sama kamu!” hardik Ines, geram.

“Kon mari kesurupan, ta?” (Kamu habis kesurupan, kah?) waktu itu, aku sedikit kaget campur heran. Tidak biasanya Ines memakai Bahasa Indonesia jika ngobrol denganku. Lebih sering, dan bahkan setiap harinya pakai bahasa khas kotaku. Tentu diiringi kata-kata kotor dan tak pantas didengar untuk sekelas Ines yang notabene seorang wanita baik-baik.

“Hm. Ayo sholat sek.” Masih tetap tak mau memandangku, Ines berjalan lebih dulu ke tempat wudhu cewek. Sedangkan aku di sisi lainnya.

Sholat jamaah ibadah maghrib dipimpin Mas Abrori selaku ketua Senat fakultasku. Tak ada yang spesial. Semua membubarkan diri. Sempat sih aku mengobrol singkat bersama Mbak Abika. Hanya saja, aku juga merasakan perubahan pandangan dirinya kepadaku. Jauh berbeda dari biasanya. Aku tidak bodoh. Efek aku yang nekat mencium bibir Ines membuat semuanya runyam. Karenanya, ini harus cepat diluruskan agar tak menimbulkan masalah serius di kemudian hari.

“Dek, mampir beli nasi goreng Cak Geng, ya. Aku belum maem dari siang.”

“Iya.”

Nasi goreng Cak Sugeng, atau yang akrab kupanggil Cak Geng itu sudah terkenal di daerah rumahku. Beliau biasa mangkal di luar gapura selamat datang komplek. Selalu ramai kalau malam begini. Yah, semoga saja tak antri lama-lama. Karena jujur, aku sudah sangat kelelahan sekali.

Sampai di lokasi, kami segera pesan nasi goreng. Dibungkus. Empat porsi. Tak perlu ditanya dua porsi untuk siapa. Kurang sopan rasanya kami pulang ke rumah tidak membawa apa-apa untuk orang tua.

Sat-set!

Empat bungkus nasi goreng dikareti dan dimasukkan ke dalam kantung plastik zebra diserahkan Cak Geng kepada kami. Uang 60 ribu susuk 4 ribu. Satu porsi harganya 14 ribu. Sangat worth it dengan porsinya yang melimpah. Belum lagi kami yang langganan suka dikasih cabai lebih. Syedappp!

Di rumah, sudah ada ayah dan ibu. Aktifitas yang biasa saja oleh keduanya tak ada yang istimewa. Ngobrol singkat basa-basi, aku dan Ines masuk kamar masing-masing. Sekalian aku membawa jatah nasi gorengku sendiri ke atas agar tak perlu merepotkan kedua kaki menuruni anak tangga.

Oh, iya. Di lantai dua ini ada dua kamar. Satu kamarku, dan satu kamar yang biasa digunakan untuk menyimpan segala hal berbau otomotif. Entah itu milikku, atau milik ayah. Dan lagi, di lantai atas ada satu kamar mandi. Jadi aku tak perlu turun untuk sekadar mandi dan tetek bengeknya.

Singkat, padat, dan penuh hasrat. Segera aku menyantap nasi gorengku, setelah sebelumnya selesai berpakaian dan membuka pintu balkon lantai dua. Balkon ini dulunya kerap kujadikan tempat layangan. Berhubung sekarang sudah banyak bertebaran kabel-kabel tetangga, hobi kecilku itu harus kusudahi. Berganti hobi suka memelihara ikan hias. Aku menyebutnya iwak cupang. Bukan lehermu yang di cupang cok, tapi memang nama ikannya itu ikan cupang. Banyak jenis, bentuk, dan warna. Aku masih menyimpan aquarium besar yang aku sekat-sekat beberapa bagian untuk dihuni iwak cupang kesayanganku.

Mengingat masa lalu, membuatku merasa tua. Aneh. Padahal baru kemarin aku nyanyi di studio latihan bersama teman-teman reggae. Pun baru kemarin aku masuk ruang BK. Kenangan demi kenangan membantuku merenungi kembali kegilaan demi kegilaan yang telah aku lalui selama enam tahun mencari jati diri.

Nasi goreng sudah habis. Sekarang aku rokokan sambil minum air mineral berukuran 1000 ml yang masih sisa setengah. Sembari memandang langit malam, datanglah Ines ke atas. Wanita wajar kalau lama. Bahkan aku bisa mengimbangi waktu yang dihabiskan Ines untuk mandi dan dandan dengan menghabiskan tiga porsi nasi padang seorang diri.

Aku menoleh. Mendapati sosok wanita semok yang melangkah ke arahku membawa piring plastik. Di atasnya ada sebungkus nasi goreng plus sendok serta garpu. Dari tangan lainnya menenteng botol tupperware berisikan … air putih? Di ketiaknya rapat menjepit tablet.

Namun, bukan itu yang menjadi perhatianku. Sungguh bukan itu. Melainkan dirinya yang memakai daster belahan V yang panjangnya mencapai betis. Ines nampak feminim memakai daster motif bunga berwarna coklat mix hitam. Anehnya, mataku malah terpaku pada daging putih gunung kembarnya yang mengintip nakal dari belahan dada.

Aku meneguk ludah. Walaupun sudah biasa melihat Ines begini, tapi malam ini terasa berbeda. Efek ciuman beberapa hari yang lalu di lokasi LKMMTD masih terasa.

“Lapo mangan nang kene?” (Ngapain makan di sini?) tanyaku, ketus. Mencoba cuek dan lanjut rokokan. Di sisi lain, aku menenangkan kebingungan dan debaran hatiku yang tak menentu ini. Bajingan.

“Gak oleh, ta?” (Tidak boleh, kah?) Ines bertanya balik. Sudah duduk di dekat pintu, sambil mulai membuka bungkusan nasi goreng. Dilanjutkan menyalakan tablet, lalu melanjutkan nonton drakor di layar yang sempat di pause.

“Aku rokokan iki, lho. Rono, rono. Wok, koen iki ngeriwuki ae, Nes.” (Aku rokokan ini, lho. Sana, sana. Huh, kamu ini merecoki mulu, Nes.)

“Aku pengen ndek kene. Bosen ndek ngisor, Dek.” (Aku pingin di sini. Bosan di bawah, Dek.) Ines seperti merengek, mengiba. Tidak biasanya dia melunak seperti ini. Ada yang salah sama otaknya. Geser berapa meter, ya? Asu.

“Karepmu.” (Terserah kamu.)

Aku lanjut rokokan agak ke ujung balkon. Menghadap ke arah samping sambil duduk di kursi kecil yang biasa kusebut dingklik. Ines sendiri tak berusaha menganggu. Baguslah. Apalagi dia sedang sibuk mengunyah dan nonton film. Kalau aku tidak salah perhitungan, butuh satu jam untuk nasi goreng porsi biasa itu habis.

Tentu perhitungan tak sepenuhnya salah. Tepat saat rokokku sisa dua batang, Ines sudah menyelesaikan makannya. Bersendawa seperti buto ijo. Bau bawang, cok. Lanjut minum, dan ceguken kecil. Yang kemudian, sambil mulat-mulet tidak jelas, dia datang menghampiriku. Mengambil satu dingklik lain agar kami sejajar.

“Aku ate ngomong.” (Aku mau bicara.) Ines buka obrolan.

“Penting?”

“Iyo.” (Iya.) Ines menatapku dalam. Tatapan anehnya membuatku tak nyaman. Apalagi dengan kurang ajarnya mataku memandang bibir basahnya. Jakunku sampai naik-turun, asu. Kemudian, Ines melanjutkan, “Opo maksudmu nyipok aku?” (Apa maksudmu cium aku?)

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

Aku tersedak asap rokoku sendiri. Mengambil air minum di botol tupperware milik Ines, lalu menenggaknya. Masih terbatuk, aku menatap Ines curiga. “Gak onok bahasan liyo, ta? Nek ngejak tukaran mene ae, awakku sek legrek. Isuk mari sarapan, antemono ae aku koyok biasa gak masalah.” (Tidak ada obrolan lain, kah? Kalau ngajak berantem besok saja, badanku masih lelah. Pagi setelah sarapan, pukuli saja aku seperti biasa tidak masalah.)

“Nggak gitu, Dek. Aku kan cuma nanya. Kenapa kamu nyium aku?” kejar Ines.

“Sorry, refleks aja. Aku kebawa emosi waktu itu kamu nyinggung mau bakar motorku. Itu motorku dibeliin sama ibuk walaupun aku udah ada motor baru beli sendiri.”

“Oalah. Cuma soal motor. Tak pikir kamu … nafsu sama aku.” Agak tercekat, tapi Ines berhasil mengeluarkan isi hatinya. Dia menatap ke arah lain. Sekilas aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang … asudahlah.

“Sebaliknya aku mau tanya juga.” Aku memandang wajah Ines sedikit emosi. “Ndeloke kene, Nes. Aku ngejak ngomong kon, guduk bekecot.” (Lihat sini, Nes. Aku ngajak bicara kamu, bukan siput.)

Ines menoleh. Matanya yang berkaca-kaca bertabrakan dengan sorot tajamku. Tapi dengan cepat dia usap, lalu berdeham. “Takok opo, Dek?” (Tanya apa, Dek?)

2f27edf2b102f1cf28448f466b852735-819x1024 Incest Bersama kakaku part 2

“Kon eroh dan sadar tak cipok, lapo aku gak mbok congor koyok biasane? Hah? Kok mbok jarrno aku iki ngelamak nang kon? Lapo, Nes? Ngomongo.” (Kamu tahu dan sadar aku cium, kenapa aku tidak kamu pukul seperti biasanya? Hah? Kok kamu biarkan aku ini kurang ajar ke kamu? Kenapa, Nes? Katakanlah.) Aku memberondong banyak pertanyaan dengan suara tegas tanpa jeda.

“Kamu kalau kadung emosi nggak bisa dihentikan, bangsat! Kamu itu jahat, ngamukan, kasar, egois, urakan. Kamu itu sampah! Sampah!” Ines berteriak marah, tapi malah terkekeh kemudian. “Anehnya, aku malah merasa dilema dicium sama adekku sendiri. Entah siapa yang salah, aku merasa harus memastikan sesuatu sebelum membahas soal kita lebih jauh.” Ines diam. Menatapku tajam, sambil mendekat. “Kamu paham apa yang tak maksud?”

Aku mengangguk. “Paham. Aku juga punya pikiran yang sama.”

“Jangan digigit kayak kemarin. Awas kamu.”

“Berisik!”

Cup!

Sekali lagi, dan untuk kedua kalinya, Ines duduk mengangkangiku. Duduk sambil memelukku. Rapat. Dadanya yang empuk berbalut bra dari balik dasternya terasa kenyal di dadaku. Sejurus, bibir kami bertemu. Kecupan ringan awalnya dengan mata saling memandang. Tapi perlahan, mataku mulai sayu. Pun Ines yang sudah terpejam lebih dahulu sembari meningkatkan intensitas ciuman. Bukan nafsu. Ini bukan nafsu dua insan beda kelamin. Ini perasaan cinta, kasih sayang, kepedulian, dan rasa-rasa lainnya yang belum pernah kurasakan. Baik aku dan Ines larut dalam ciuman penuh kenyamanan menenangkan jiwa. Tak ada tandingannya. Mau itu Sintia, Febi, atau lonte-lonte sialan di luar sana. Pesona Ines yang baru malam ini aku lihat baik-baik dengan mata terbuka sungguh meluluhlantakkan hatiku. Kamus tentang norma budaya ketimuran belum tercipta di kamus hidupku. Masih belum.

“ADEK! MOTORMU MASUKKIN DULU!” teriakan Ibu dari lantai satu sukses membuyarkan romantisme di antara aku dan Ines. Kami saling menjauh. Menyeka bibir. Mengatur nafas yang mulai memburu. Bertatapan sebentar, lalu merapihkan pakaian. Yang pertama pergi dari balkon lantai dua adalah aku. Meninggalkan Ines yang masih terduduk di dingklik dengan kecamuk perasaan yang dia simpan seorang diri. Tinggal menunggu waktu sampai semua ini jelas. Sebenarnya … apa yang sedang kami lakukan?

Satu minggu ke depan adalah libur. Sedikit singkat, mengingat jatah libur dari semester 1 menuju semester 2 habis oleh persiapan untuk acara LKMM-TD tempo hari.

Sekarang hari Senin. Senin cerah dan berawan. Tentu panas, mengingat hujan semalam sudah cukup mengguyur seantero sudut Kota Pahlawanku tercinta. Meja makan di dekat dapur yang terpisahkan tembok setinggi dada mempertontonkan kesibukan penghuninya. Kalau aku lagi duduk santai makan nasi goreng putih buatan ibu tersayang. Di depanku ada ayah yang sedang menyantap gedang kluthuk. Maksudku, pisang raja. Dua kali lahap, habis tak tersisa. Iku cangkem ta paralon, cuk. Wes, ajor. Pokok kurang disiplin kalau sudah melihat keunikan ayahku. Dengan sejuta pesona kecuekan bebeknya, ayahku ini mewariskan wajahnya ke aku. Wajah orang menyebalkan.

Di arah jam sembilan, berdiri dua wanita cantik. Yang satu sedang menggoreng udang, satunya lagi mencuci peralatan masak. Ibu dan Ines. Mengingat insiden semalam, aku jadi penasaran tanggapan Ines. Sebab, setelah aku memasukkan motor custom warna hitam metalik kebanggaanku sejak zaman SMA, Ines langsung turun, masuk kamar, dan menguncinya dari dalam. Baru keluar saat adzan shubuh selesai 5 menit kemudian. Colmek kali itu betina. Whatever.

Satu persatu wanita bergabung ke dalam meja makan. Pukul 5.30 sekarang. Ibu sudah rapi dengan pakaian coklat ala PNS-nya. Dia mengambil duduk di samping ayah. Berbeda dengan Ines yang punya takhta sendiri duduk di kursi dapur sambil menumpukan sebelah kaki. Duduk elegan bak bintang tamu podcast “pro dan kontra hubungan sedarah” memakan udang goreng ditolet sambal merah merona seperti bibirnya pagi ini.

Inti obrolan pagi ini sebagai berikut:

Pertama, dalam satu minggu ini, semua penghuni bagi tugas. Banyak kegiatan dan acara di luar. Dimulai dari prioritas tertinggi khitanan adik sepupuku anak dari Tante Puji adik kandung ibuku. Rumahnya berada di kota plat W. Untuk itu, yang akan berangkat membantu mengkondisikan situasi dan kondisi di sana adalah ayah dan ibu. Mereka akan berangkat hari Kamis. Tepatnya tiga hari lagi. Tentu menginap. Dan soal kerjaan ibu, beliau bisa langsung berangkat dari rumah Tante Puji menuju SMP tempat beliau mengajar.

Kedua, urusan rumah diserahkan kepadaku dan Ines. Kami diberi peringatan untuk tidak membuat malu. Apalagi membawa cekcok sampai ke luar. Selain itu, hari Kamis besok, tepatnya malam Jumat ada acara tahlil di rumah Bapak Solikin. Juga ada acara kerja bakti di hari Minggu. Oleh karenanya, aku yang diutus oleh Yang Mulia Raja Joko untuk mengikuti dua acara itu.

Ketiga, tugas Ines hanya memastikan aku menjalankan job desk-ku dengan baik. Kalau ketahuan aku tidak berangkat tahlil atau kerja bakti, ibu akan memangkas 80 persen uang bulanan. Oh, tidak masalah. Ada ATM berjalan di depanku. Pria berkumis tebal dan punya tato burung elang di lengannya. Ayahku akan selalu siap sedia uang jajan untuk anaknya yang murah senyum ini. Asu.

Singkat saja, tiga hari telah berlalu. Cukup cepat. Meskipun ada masalah penting di antara aku dan Ines, kami tetap seperti biasa. Bedanya, tak lagi kudengar auman singa betina dari mulut durjana Ines. Pun kejahilan-kejahilan kecil dirinya kepadaku. Tenang, damai, aman sentosa. Aku seperti hidup di Jamaika. Yoman!

Malam ini, aku sudah menyelesaikan kegiatan melipat bajuku sendiri untuk kugunakan sehari-hari. Outfit memakai songkok warna hitam, baju koko warna putih suci, serta bawahan terbungkus sarung hitam cap Sikilmu Gudikan. Jangan lupakan sandal suwalo yang tengahnya sudah mangkak. Bajingan.

Berangkatlah aku tahlil. Menebar senyum indah menyapa tetangga. Sedikit banyak mereka bergidik jijik melihat seekor preman lepas dari kandang. Untung mereka hanya membatin. Coba saja ngomong langsung, aku hantam kotak amal mulut mereka. Asu.

“Assalamualaikum.” Aku mengucap salam. Kompak semua orang membalas. Tiga-empat pemuda karang taruna termasuk Mas Kodok memberi gestur tangan mendekat.

Aku salami semua orang. Lalu, duduk tepat di sebelah kanan Mas Kodok. Rokok di bibirnya kuambil alih. Lantas kuhisap beberapa kali hingga mengundang decakan anak-anak muda di depanku.

“Pripun kabare, Dek Joko?” (Bagaimana kabarnya, Dek Joko?) tanya Mas Kodok, dengan nada mengejeknya yang khas.

“Nggatheli lambene peno suwe-suwe njalok di solder. Joko lek jeneng ebesku. Lapo mbok gowo.” (Menjengkelkan mulutmu lama-lama minta di solder. Joko kan nama ayahku. Ngapain kamu bawa.)

“Lah kan margamu sisan. Rio Joko Handayani.” (Lah kan margamu juga. Rio Joko Handayani.)

“Handayani buatokmu lohan. Handoko, es.” (Handayani jidatmu ikan lohan. Handoko, es.)

Hahahahaha!

Semua orang tertawa mendengar lawakan kami berdua. Suasana keakraban dengan bertambahnya diriku di tengah lautan para lelaki berpeci hitam. Ada pula yang tak memakai peci. Mau pamer rambutnya yang di pomade klimis dia. Dobol.

Acara tahlilan entah dalam rangka apa aku ora nyimak. Yang penting aku mengikuti bacaan dalam buku yasin. Sampai akhirnya, wayahe mbadok gais. Wes kelaparan diriku. Untung tuan rumah sedikit pengertian sama aku. Segera aku meloncat ke samping rumah ikut nimbrung ibu-ibu yang masak. Aku diambilkan porsi rawon agak banyak plus dua kerupuk udang. Yummy!

“Shollu alannabi Muhammad!” pemandu acara menyerukan bacaan template.

“SHOLLU ALAIH!” balas semua orang, sambil menyalami tuan rumah. Mengucap terima kasih atas jamuannya serta sego berkatnya.

Jalan santai. Pelan. Senyap. Kulalui jalan pulang ditemani Mas Kodok yang tak pernah absen membuatku tertawa terbahak-bahak mendengar banyolannya. Kadang ngomong soal susu, kadang ngomong bokong. Lebih sering menyinggung soal “andai aku punya uang 100 juta, niscaya akan kulamar mbakmu yang ginuk-ginuk itu”. Tentu saja jawabanku hanya tertawa. Walaupun Mas Kodok 10 tahun lebih tua dariku, bisa dibilang dia awet muda. Kumis, jambang, dan jenggot rajin dia cukur. Tak tahu lagi soal bulu jembut yang menutupi cacing kreminya. Semprul.

Srek!

“Assalamualaikum!” sambil membuka gerbang, aku mengucap salam setengah berteriak. Mencoba mengusik satu-satunya penghuni yang duduk jigang di tengah serius menerima telepon seseorang.

Tatapan sebal Ines berikan. Belum lagi cebikannya terdengar mengusirku. Jambret. Tega sekali dirimu. Padahal tiga hari yang lalu bibirmu itu mendesah saat aku mengecupmu, babi.

“Iki lho onok berkat. Maemen.” (Ini lho anak nasi kotak. Makanlah.) Aku yang duduk di dekat Ines membuka suara, sesaat setelah Ines mematikan panggilan telepon.

Ines melirikku. “Wes maem aku.” (Sudah makan aku.) Jawaban datar saja.

“Ndabrus. Gak usah atek anyi-anyi po’o, seh. Ndang maem’o.” (Omong kosong. Tidak usah pakai sungkan-sungkan kenapa, sih. Buruan makan.)

“Dikandani aku wes maem, kok.” (Dibilangi aku sudah makan, kok.)

Aku mengendikkan bahu. Berdiri, berjalan santai menuju dalam rumah meninggalkan Ines. Ke atas. Karena rencananya setelah ini aku akan berangkat ke kostan Febi. Menuntut jatah yang sudah beberapa hari ini tak kudapatkan dari pacar teposku. Hanya butuh waktu tujuh menit, jam pun baru menunjukkan pukul 20.49, aku sudah berganti pakaian kasual dan menghamburkan semerbak wangi parfum mahal impor dari Serbia. Bajingan.

“Wes, ta? Ngene tok?” (Sudah, kah? Begini saja?) tegur Ines. Dia masih duduk di teras. Tak menyentuh nasi kotak yang kuperuntukkan padanya. Dasar tidak tahu diri.

Aku berhenti menuntun Byson custom tungganganku. Mengangkat helm, lalu menoleh ke arah Ines. “Gak usah kakean drama. Aku kape nggolek angin. Kon ndang maem’o. Entek ngunu awakmu.” (Tidak perlu kebanyakan drama. Aku mau mencari angin. Kamu buruan makan. Kurus gitu badanmu.)

“Babah.” (Biarkan.)

“Arek gendeng.” (Anak gila.)

Aku sih tidak peduli mau Ines drama seperti apa. Takkan ada solusi mengatasi spermaku yang mengendap di dalam kantung semarku. Kalau tidak segera dibawa ke bengkel dan ditangani mekanik yang handal, bisa-bisa jadi pajangan doang ini kontol clutak.

Ngengggg!

Simsalabim. Diriku yang malam Jumat ini memakai kemeja flanel dan celana jeans suwek-suwek, segera melesat naik ke lantai dua tempat di mana kamar kost pacarku berasa.

Febi. Dia tolah-toleh. Lalu, menatapku jenaka. Masih sama gilanya saat kami pertama kali bertemu. Untung Febi cantik dan sesuai tipeku yang langsing dan berdada ramah, coba kalau dia mendekati spek tobrut jangan bong (baca: sup bong) jelas sudah tekanan batinku jauh lebih dahsyat menuntut kesabaran seluas samudra punya pacar yang susunya jadi cuci mata para garangan hina. Bangsat.

Crat, crot, crat, crot. Entah berapa kali Febi orgasme nganti squirt bak air terjun Niagara, memek merah keunguannya nampak merekah basah kuyup. Sedikit berbusa karena di ronde ketiga persetubuhan kami yang memasuki pukul 2 dini hari, memek Febi sudah mencapai batas.

Aku dan Febi melepas lelah. Aku kecup keningnya. Mengucap terima kasih atas hidangan utamanya. Aku puas dengan pelayanan Febi yang setara lonte bintang lima. Eh, maaf. Bukan berarti Febi pelacur, tapi dia tempat pembuangan lendir pribadi. Sejahat itu aku. Bahkan setelah aku perawani, dia tak banyak menuntut macam-macam. Namun, satu yang Febi minta dariku …

“Kalau ada orang ketiga di antara kita, aku mohon sama kamu untuk tetap jadi Rio seperti biasa.”

Benar, Sayang. Aku akan tetap menjadi Rio yang kamu kenal. Buktinya aku tidak pernah main hati dengan wanita lain. Yah, meski aku bisa, sih. Cuma, kembali lagi. Aku tipikal orang yang “satu ya satu”. Paham karepmu, gak paham karepmu, su, asu.

Oke. Jadi begini. Tepat pukul tiga dini hari, aku sudah tiba di rumahku sendiri. Aku putuskan untuk pamit pulang ke Febi dan tidak menginap karena aku punya feeling akan terjadi sesuatu di rumah.

Tepat saat aku memasuki rumah, hampir semua lampu mati. Kalau pelakunya bukan Ines, siapa lagi? Terlebih aku mendengar suara seorang wanita menangis sesenggukan. Sedikit merinding karena suara itu mendayu-dayu. Untung aku punya khodam bernama Pikachu. Bisa mengalirkan listrik untuk jaga-jaga orang iseng menyentil jantungku.

Ines. Di kamarnya sendiri, kakak perempuanku yang memakai kemeja lengan panjang sedang duduk di atas ranjang sambil memeluk kedua kaki. Dia bersandar di tembok bercat biru muda penuh pernak-pernik lampu LED yang selewat mata memperlihatkan berbagai foto terbingkai pigura berbagai model. Namun, satu-satunya pigura terbesar di sana terpajang tepat di depan meja rias tempat Ines bersolek. Itu adalah foto kami berdua sewaktu kami masih SD. Masih membekas di ingatanku betapa gendut dan doyan makannya si Ines. Mengenangnya, membuatku tertawa dalam hati. Bukan apa-apa. Lucu saja saat kami berjalan bersama bagaikan angka 10. Sungguh membagongkan.

“Nes, lapo nangis?” (Nes, ngapain nangis?) aku menegur, khawatir.

“Hiks … hiks … hiks ….” Semakin keras tangisan Ines saat wajahnya mengintip dari sela-sela jari. Dia semakin merapatkan pelukan pada kaki.

Asu. Begitu menyayat nan mengiris hati tangisan Ines di telingaku. Apa iya Mas Ardi habis main ke sini terus bikin Ines nangis? Kalau benar begitu, aku akan menghajarnya sekarang juga. Bangsat!

Sontak saja, memikirkan hal negatif itu, membuat kedua tanganku terkepal kuat. Entah sejak kapan terakhir kali Ines menangis, yang kutahu saat dia meneteskan air mata, tanganku bersimbah darah. Benar. Tak boleh ada yang melukai hati dan fisik Ines kecuali aku.

“Ardi mari mrene a mau?” (Ardi habis ke sinikah tadi?) geramku, tertahan.

Ucapanku membuat badan Ines berhenti bergetar. Sejurus, dia mendongak. Menurunkan kaki. Wajahnya sangat menyedihkan. Agak kurusan karena Ines sepertinya sedang menjalankan program diet.

“Aku luwe.” (Aku laper.) Rintih Ines, seperti anak kecil.

Spontanitas seorang adik kepada kakaknya adalah menepuk-nepuk pucuk kepalanya. Aku tenangkan Ines. Semakin banyak kesalahpahaman di antara kami kalau tak kunjung dibenahi. Harusnya aku tahu nasi kota di atas meja ruang tamu yang tak tersentuh sedikit pun menjadi alasan kuat Ines menangis menahan lapar. Betul, betul, betul. Ines paling tidak bisa kalau disuruh menahan diri.

“Tak dulang, ya?” (Aku suapi, ya?) tawarku, lembut.

Ines mengangguk. Dia menatapku penuh binar di matanya yang berair. “Hmm … kamu bau. Ganti baju dulu sana.”

Aku membaui ketekku sendiri. Jangkrek. Iyo, asli. Wangi parfum khasnya Febi masih menempel di baju dan sekujur tubuhku. Belum lagi saat aku menatap kaca, ada dua kissmark di leher kiriku. Asu. Aku akui, malam ini Febi begitu binal dan agresif. Efek dirinya yang sebentar lagi akan PMS. Mudah ditebak.

Selepas membersihkan diri sampai kinclong, berikut ganti pakaian santai memakerkan manukku yang gundal-gandul tanpa celana dalam, aku segera menyuapi Ines makan. Ini bukan kali pertama. Ini kali kesekian kalau Ines sedang dalam mode sadgirl.

Aku kasih makan. Kasih minum. Aku bukakan pisang yang sudah menghitam pucuknya. Terakhir, aku jejeli kue lumpur ke dalam tempek, ah, maksudku ke dalam bibir ndower cewek galak ini.

“Metu ambek sopo kon yahmene sek ket moleh, ndeng?” (Keluar sama siapa kamu jam segini baru pulang, gila?) Ines sudah mendapat kekuatannya kembali. Mode ceramah dimulai.

Aku menghela nafas pendek. “Febi.”

“Febi, Febi, Febi. Febi teros! Febi ae terosssss!”

“Ketokane demit tekan puncak sek nemplek nang gegermu, Nes.” (Kelihatannya setan dari puncak masih nempel di punggungmu, Nes.)

“Gak usah nyelimur. Aku kesel ambek kon, cok. Ngerti, a?!” (Tidak usah berkilah. Aku kesal sama kamu, cok. Paham, kah?!) sentak Ines, pedas.

Aku menatap Ines serius. “Opo’o seh kon iki, Nes, asline? Aku blakrakan nandi ae ket iko yo kon gak tau kakean cangkem. Sak iki kok isok kon ngeriwuki aku? Alasanmu opo kok macak dadi ibu tiri ngene?” (Kenapa sih kamu ini, Nes, sebenarnya? Aku keluyuran ke mana saja dari dulu ya kamu tidak pernah banyak bicara. Sekarang kok bisa kamu ikut campur aku? Alasanmu apa kok cosplay jadi ibu tiri begini?)

Ines menghela nafas panjang. Debat sengit ini berakhir dengan sesi curhat yang sangat panjang. Oleh karenanya, untuk mempersingkat waktu, aku terjemahkan saja inti pembicaraan kami.

Jadi, Ines menyinggung soal masa lalu kami sewaktu SD, mungkin. Aku dulu pernah punya teman sebaya berjenis kelamin perempuan. Badannya itu tak lazim. Tinggi besar nan gemuk melebihi anak-anak lainnya. Bahkan jika dibandingkan denganku yang kala itu lunglit alias balung kulit, kiranya empat kali lipat badan kami. Asu tenan.

Nah, anak itu namanya Ica. Aku dan anak-anak pecicilan lainnya suka menjadikan Ica bahan bullyan. Target utama kami, tentu saja. Sampai suatu hari, saking nakalnya aku, roknya Ica pernah aku angkat sewaktu upacara bendera. Dari sana, aku secara spontan dihajar sama Ica.

Aku … kalah … sama … cewek!

Memalukan sekali, bukan?

Menurut pandangan Ines, sejak saat itu aku benci cewek gendut. Dan itu benar adanya. Sampai sekarang pun, seleraku yang langsing dan cantik berseri. Oleh karenanya, saat aku pulang dalam kondisi menyedihkan -menangis dan mengadu kepada ibu- aku memandang Ines seperti halnya aku menatap Ica. Dari situlah Ines mulai ketakutan sama aku. Dia tidak ingin nasibnya sama seperti Ica menjadi bahan ledekanku. Kendati aku tak pernah sekali pun menghina fisik Ines, bahkan aku selalu berdiri paling depan saat Ines dibully oleh anak laki-laki. Ayolah, bullyan fisik serta panggilan orang tua terlalu menyakitkan untuk Ines kala itu. Tangisan Ines kecil masih bisa kurasakan kepedihannya. Mengingatnya, membuat darahku mendidih.

“Aku nggak seneng kamu belain aku. Aku kelihatan nggak guna sebagai mbakmu. Aku justru takut. Takut banget. Seakan ucapan mereka itu benar dengan melihat kemarahan di wajahmu saat mereka mencelaku. Bertahun-tahun aku hidup dalam ketakutan karena takut sama adikku sendiri. Takut diejek gendut. Takut dihajar. Takut semuanya. Itu yang bikin aku suka marah-marah ke kamu. Aku pingin kuat. Aku nggak mau dikalahkan sama kamu. Aku sok kuat demi menutupi rasa takutku selama ini ke kamu, Rio.” Ines menutup ceritanya dengan suara bergetar.

Aku tak bisa berkata-kata. Ini dia yang kumaksud dari sudut pandang Ines. Dia punya pandangan sendiri kepadaku. Begitupun denganku yang punya persepsi serta asumsi liar akan Ines. Tentu, kesalahpahaman ini harus diakhiri.

“Nes. Aku gak tau ngece kon lemu mbasio awakmu koyok unto. Aku gak tau nyacati sampe ngetrek-etrek kon. Aku yo njaluk sepuro lek aku nggarai kon wedi selama iki. Percoyo’o ambek aku, Nes. Guduk maksudku nggawe kon keweden. Iki kabeh semata-mata sebagai bentuk roso sayangku nang kon sebagai seorang adek. Gak onok alasan liyane gawe aku gak mbelo mbakku dewe seng diidek ambek larakan gathel iku. Justru tak idek genti ambek aku. Paham gak koen, Nes, sampe tekan kene?” (Nes. Aku tidak pernah menghina kamu gendut walaupun badanmu seperti onta. Aku tidak pernah menghujat sampai menginjak-injak kamu. Aku ya minta maaf kalau aku bikin kamu takut selama ini. Percayalah sama aku, Nes. Bukan maksudku membuatmu ketakutan. Ini semua semata-mata sebagai bentuk rasa sayangkan ke kamu sebagai seorang adek. Tidak ada alasan lainnya buat aku tidak membela kakakku sendiri yang diinjak oleh kotoran sialan itu. Justru aku injak ganti sama aku. Paham tidak kamu, Nes, sampai sini?)

“Wes paham. Aku wes lego. Tapi pertanyaanku siji. Lapo gak ngomong ket biyen, Dek? Ngene kan aku poleh salah kaprah ambek kamu.” (Sudah paham. Aku sudah lega. Tapi pertanyaanku satu. Kenapa tidak bicara dari dulu, Dek? Gini kan aku jadi salah paham sama kamu.)

“Aku gak mudeng opo seng kape diomong. Seng tak eroh, aku ngelindungi dan njogo awakmu mbasio aku ajur remek. Gak masalah, Nes, seng penting kon isok mbalek dadi Ines seng doyan donat karo kucur, bagiku wes cukup. Sak iki kon wes gak tau mangan iku. Aku yo gak wani takok-takok wedi kon sensi karo aku engkok, Nes.” (Aku tidak paham apa yang mau dibicarakan. Yang aku tahu, aku melindungi dan menjagamu walaupun aku hancur lebur. Tidak masalah, Nes, yang penting kamu bisa kembali jadi Ines yang demen donat sama kucur, bagiku sudah cukup. Sekarang kamu sudah tidak pernah makan itu. Aku ya tidak berani tanya-tanya takut kamu tersinggung sama aku nanti, Nes.)

“Aku wes pingin diet, Dek. Aku emoh dadi lemu. Aku emoh gak dianggep ambek kamu. Aku sedih ndelok awakku dewe seng gak isok singset koyok pacarmu. Aku iri. Mangkel. Aku pingin koyok ngunu gawe membuktikan cek aku pantes dadi mbakmu.” (Aku sudah pingin diet, Dek. Aku tidak mau jadi gendut. Aku tidak mau tidak dianggap sama kamu. Aku sedih melihat diriku sendiri yang tidak bisa singset seperti pacarmu. Aku iri. Kesal. Aku pingin. Seperti itu untuk membuktikan biar aku lantas jadi mbakmu.)

“Diet o maneh, tak gembosi wetengmu nggawe selang.” (Coba diet lagi, aku kempesi perutmu pakai selang.)

Ines cemberut. Kecut. “Taek.”

“Sithok engkas. Aku njalok sepuro lek sampe sak iki gurung isok nyelok kon ‘mbak’. Aku lebih nyaman nyelok kon langsung jeneng. Iku sebagai perlambang gak onok jarak di antara kita. Aku tetaplah aku. Aku adekmu. Kon mbakku. Sayangku nang kon lebih gedhe timbangane roso sayangku ambek awakku dewe.” (Sekali lagi. Aku minta maaf kalau sampai sekarang belum bisa memanggilku ‘mbak’. Aku lebih nyaman memanggilmu langsung nama. Itu sebagai tanda tidak adanya jarak di antara kita. Aku tetaplah aku. Aku adekmu. Kamu kakakku. Sayangku ke kamu lebih besar daripada rasa sayangku kepada diriku sendiri.)

Mata Ines membola sempurna. Berkaca-kaca lagi. Hampir saja pecah tengaisan kalau aku tidak buru-buru melotot menebar ancaman. “Sak iki, kon gak oleh nangis maneh nang ngarepku. Mboh yok opo carane. aku gak seneng ndelok kon mrebes mili. Isok tak entekno seng ketok moto. Wes, yo, Nes.” (Sekarang, kamu tidak boleh nangis lagi di hadapanku. Entah bagaimana caranya. Aku tidak suka melihatmu meneteskan air mata. Bisa aku habisi yang kelihatan mata. Sudah, ya, Nes.) imbuhku, tegas.

“Hehehe. Terlalu banyak salah paham, ya, Dek.”

“Ya kamu keburu diat-diet. Kenapa, sih? Aturan enak yang berisi. Empuk bisa buat rebahan.”

“Maksudmu?”

Aku menaik-turunkan alisku menatap kedua susunya dengan tatapan mesum. Hanya bercanda. Tapi, beda dengan pemikiran Ines yang menganggap ucapanku sungguhan. Bajingan.

“Kamu kok jadi gini sih sama aku, Dek? Aku ini mbakmu. Kenapa kamu ngelihat aku kayak pacarmu?” Ines menatapku menyelidik.

Aku mencicit, “Emang nggak boleh?”

“Nggak tahu.”

“Mbak.”

“Hm.”

“Mau nggak?”

“Apa?”

450411232_460173860144529_7942494906262065364_n-586x1024 Incest Bersama kakaku part 2

Aku merentangkan kedua tangan. Tersenyum tulus dan sedikit lelah karena sudah teramat ngantuk mripatku koyok iwak sepat, rek. Tak kuduga, Ines berhambur memelukku. Jauh lebih kuat, kencang, dan erat dia merengkuh badanku. Sejuta perasaan yang terpendam di dalam dada Ines selama ini telah dia keluarkan pagi ini. Ines, dia sudah tak lagi menyimpan bebannya seorang diri. Ada aku, adik satu-satunya, yang akan selalu menjaga dan melindunginya dari tangan-tangan bajingan di luar sana.

Aku berbisik di dekat telinga Ines, “Aku iku suayang ambek kon, Nes. Ket biyen sampe sak iki. Sayangku gak berubah. Tambah sayang maneh pas kejadian wingi.” (Aku ini sayang sekali kamu, Nes. Dari dulu sampai sekarang. Sayangku tidak berubah. Tambah sayang lagi pas kejadian kemarin.)

Tak bisa ditahan, aku biarkan Ines menangis keras di ceruk leherku. Penuh kelegaan, kebahagiaan, dan rasa plong setelah memendam overthinking-nya sendiri. Dasar kurang kerjaan.

“Wes, Nes. Ojok nangis. Engkok aku disapu karo ibuk gelem ta kon?” (Sudah, Nes. Jangan nangis. Nanti aku dihajar sama ibu relakah kamu?)

“Babahno!” (Biarkan!)

“Asu’i.” (Anjing, lah.)

Cup!

Ines yang lebih dulu menciumku. Dia terbawa suasana. Panas. Dadanya naik-turun diiringi nafas memburu. Hembusan hidungnya hangat menyapa kulit pipiku. Tatapan sayunya ikut membawaku masuk ke dalam pintu yang sudah dia buka untukku. Mempersilahkan masuk duduk anteng di dalam kastil.

Ines melepaskan pagutan di bibirku. Dia memandangku penuh cinta. Menangkup kedua pipiku dengan mata berlinang, sebelum berucap, “Aku jauh lebih sayang kamu, Dek. Cinta kamu. Kamu punyaku. Kamu nggak boleh sama yang lain. Kamu punyaku. Punyaku.” Ines menegaskan setiap ucapannya sambil membuka satu persatu kancing kemejanya. Hingga pada akhirnya, terpampang gunung kembar tanpa pengaman. Besar, bulat, mengkal. Dua puncak gunung mungil berwarna coklat dengan areola coklat muda berukuran kecil. Menggairahkan. Pantas saja saat berpelukan sebelumnya terasa empuk mengganjal. Sejurus, Ines tersenyum simpul sambil mengalungkan kedua tangan di leherku, lalu berbisik serak, “Ines punya Adek sekarang.”

DEG!

Ini bahaya. Perasaan ini …?!

Sejak malam di mana aku melakukan penolakan keras menjamah tubuh Ines, perlahan demi perlahan Ines membuat rencananya sendiri untuk menaklukkan adik kecilnya ini.

Mungkin terlalu banyak pertanyaan: kenapa aku menolak? Itu karena perasaanku kala itu campur aduk tak menentu. Antara lelah karena sudah melepaskan energi mahadahsyat di dalam liang surgawi pacar sendiri, juga pelik kebingungan, linglung, bin lolak-lolok. Pekok. Wes pokoknya longor pol. Singkatnya begini, rek. Aku tidak ada masalah berarti menghadapi seorang wanita. Aman saja. Aku juga tidak gay dan sejenisnya, su. Terbukti aku bisa menjadikan salah satu bidadari kampus menjadi ratuku, Febi. Namun, untuk kasusnya Ines jauh lebih rumit.

Aku jabarkan:

Pertama, Ines adalah kakakku. Jelas jika dihadapkan dengan situasi erotis malam itu, perasaanku bergejolak tak karuan. Some like this: “boleh gak ya?”, atau “aman gak ya?”. Bahkan perihal nafsu pun, belum ada ikut campur mempengaruhi akal sehat dan jiwaku. Kendati demkian, tembok kokoh nan tebal yang kubangun sebagai benteng pertahanan melawan Ines ambrol sedikit demi sedikit seiring effort tiada tanding yang Ines galakkan. Menyerangku dari segala lini tanpa menghancurkan hubunganku dan Febi. Sampai berjuang keras demi menarik perhatianku, Ines rela menurunkan berat badannya. Bahkan dia kerap memakai parfum seperti Febi. Pun rambutnya dia kuncir kuda kalau sedang berada di dalam rumah. Edan, tidak? Dia rela melakukan itu semua agar aku bisa fokus kepadanya.

Belum. Masih belum seberapa. Ines adalah eksistensi yang disebut cegil alias cewek gila. Tak hanya menebar pesona kepadaku dengan gaya berpakaiannya kelewat berani jika hanya ada kami berdua di rumah, melainkan kegigihannya menjadi detektif dadakan. Mengetahui seluk-beluk diriku. Sosia mediaku dia pantau secara berkala. Like, komen, dan reply snapgram yang aku upload pun dia lakukan. Juga, dari ujung rambutku sampai keruwelan jembut. Nggatheli.

Belum lagi Ines membuatkan makanan kesukaanku: onde-onde. Aku suka itu kue. Apalagi kalau ditambah getas. Tahu yang namanya getas, kan? Teksturnya tebal, agak lonjong, dan manis. Itu kesukaanku. Dan Ines mulai belajar bikin kue-kue melihat resep di internet. Percobaan pertama hingga kesekian berada di skala 6. Di hari selanjutnya, sudah lebih baik, bahkan aku salut akan perjuangannya agar aku selalu memperhatikan dirinya. Asu, tidak? Asu banget!

Adalah benar jikalau duniaku mulai terbalik. Dimulai dari perayaan ulang tahun Febi di tanggal 22 Februari. Yang mana, aku dibantu Ines memberi kejutan di kostan Febi. Soal satu ini, aku salut. Bagaimana kakakku memperlakukan seorang wanita yang notabene pacar adiknya dengan baik. Terlebih, wanita itu secara tidak langsung adalah rivalnya sendiri. Mengong.

Beberapa hari setelahnya, kami fokus menghadapi UTS di depan mata. Empat dari tujuh mata kuliahku di semester 2 mendapat nilai sempurna. Sisanya antara C sampai B-.

Berganti bulan. Maret cukup sibuk karena aku punya banyak agenda. Salah satunya konser underground di Monkasel. Biarpun dulunya aku anak reggae, lamat-lamat aliran musikku ikut glow up seiring kenyamanan telinga mendengarkan lagu yang dibawakan band favoritku: Outright dan Devadata.

JANCOK TAEK ASU! ASU TAEK GATEL! GATEL TAEK ASU! ASU RAIMU!

Semakin nostalgia. Mengingat lagi ke dalam memori betapa norak dan alaynya outfitku waktu itu. Untung saja di zaman di mana arena mosphit diisi anak-anak yang memang moshing banget lah istilahnya, tak ada satu pun dari mereka mengejek satu sama lain. Kekompakan salam satu jejek, antem, tungkak, sampai loncat gaya capung dari atas panggung, menjadi satu alur betapa panas dan serunya fest-fest yang bertebaran di beberapa titik kotaku.

Tentu hal ini ada hubungannya sama Ines. Di mana pun aku berada, Ines selalu membuntutiku dengan kedok sambil mengajak Mas Ardi. Apalagi sesekali Febi ikut nonton konser. Cuk, lah. Bukannya aku keberatan, hanya saja aku tidak datang perseorangan. Ada Ambon dan beberapa teman SMA-ku yang tergabung ke dalam kelompok SBHC -Surabaya Hardcore- yang kerap mengajakku menggila di arena. Nah, kalau ada dua wanita tetap saja rasa khawatir nan cemas membuatku tak nyaman berlama-lama di sana. Tahu sendiri kan mayoritas garangan di arena seperti apa? Terlebih Mas Ardi kurang bisa diandalkan. Wajahnya tidak cocok menjadi penjaga wanita di area belakang. Bajigur.

Kepingan ingatanku perlahan membawaku di bulan April. Kiranya dua bulan lebih sejak pertemuan antar dua bibir di puncak T. Masih terngiang ucapan demi ucapan yang terlontar dari mulut Ines saat kami kebetulan sedang berduaan. Ines begitu pintar memanfaatkan waktu sempit hanya untuk memberi service ala kakak kepada adik. Service di sini bukan perihal ranjang. Bukan itu. Melainkan service layaknya seorang pacar sungguhan. Entah jin apa yang merasuki tubuh Ines sampai dia melupakan sesuatu yang teramat penting: kami sedarah!

Kebingunganku mulai terjawab seiring berjalannya waktu. Tanpa perlu curhat ke sana-ke mari, aku membuat asumsi sendiri. Menyimpulkan puzzle-puzzle yang berhamburan di kepala. Mengumpulkan jadi satu membentuk satu kesatuan utuh. Gambar pada puzzle memberi petunjuk untuk menyambut dengan tangan terbuka kdoe-kode Ines. Sebab, aku mulai mengetahui satu fakta penting. Yang mana, setidaknya sekali seumur hidup seorang wanita menjalin hubungan dengan badboy.

Tentu di sinilah dilemaku. Di satu sisi Ines adalah mbakku. Di sisi lain Ines butuh dorongan untuk menuntaskan rasa penasarannya yang tak dia dapat dari Mas Ardi yang hidupnya lurus-lurus saja. Oleh karenanya, aku membuat satu langkah besar. Langkah di mana aku akan menjadi oase bagi Ines.

Hari di mana hubungan gila antara aku dan Ines tiba. Waktu itu, masih di bulan April. Siang menjelang sore, ayah berada di toko sparepart miliknya. Libur cateran, katanya. Sementara ibu berada di sekolah. Beliau disibukkan merekap hasil Ujian Sekolah anak didiknya yang sebentar lagi lulus. Untuk Ines sendiri sudah sedari pagi berada di lokasi magang. Tepatnya di kantor kecamatan. Kiranya sudah jalan dua mingguan dia magang di sana. Kalau aku sudah jelas di kampus. Tepatnya, ngopi di warkop sebelah timur kampusku. Tak lama, Ines telepon.

“Posisimu, Dek?”

“Biasa nang warunge Lek Di. Ngopi karo arek-arek.” (Biasa di warungnya Lek Di. Ngopi sama anak-anak.)

“Jemput aku sekarang, Dek.”

“Lah, kok wes moleh yahmene?” (Lah, kok sudah pulang jam segini?)

“Udah jemput aku nggak usah banyak tanya!”

Tut!

Asu. Telepon dimatikan dari seberang. Dari nada bicaranya, sepertinya Ines sedang panik dan emosi. Secepat capung aku meninggalkan Kempong dan kawan-kawan. Hutang dulu di warkop. Bayar keri.

Berangkatlah diriku menuju kecamatan tempat di mana Ines magang. Sampai di mana aku berada di luar gerbang kecamatan. Celingak-celinguk melihat Ines. Beberapa pegawai berseragam coklat lalu-lalang di sana. Terlihat pula dua-tiga orang warga yang punya urusan -entah mengurus apa- bergentayangan di sudut-sudut kantor tersebut.

Aku telepon Ines. Tak diangkat. Tapi, Ines sudah keluar. Dia memakai almamater kebanggaan kampus kami membalut kemeja putih dan bawahan rok hitam panjang. Oh, iya. Kepalanya dibungkus jilbab putih tanpa pentul. Jadi disampirkan begitu saja. Helai rambutnya beberapa kali turun menghias samping wajah.

Menenteng tas sambil menggenggam ponsel di tangan kiri, Ines datang dengan wajah tak sedap dipandang. Mecucu dan nampak sebal. Tanpa babibu, dia naik ke atas motorku. Terlebih dahulu aku serahkan helm padanya, dan langsung dia pakai. Menjadi tukang ojek tanpa bayaran selama dua minggu mengantarkan Ines magang kerap membuatku kesal sendiri. Bukannya tidak sayang sama Ines, tapi dianya menganggu waktu bersantaiku. Jamput.

Sebelum jalan, aku menoleh ke belakang, dan bertanya, “Onok opo kok wajahmu mbok tekuk lungset?” (Ada apa kok wajahmu menunduk kusut?)

Ines mengeplak helmku. “Nyocot! Cepetan jalan!”

“Asu.” Aku menggerutu sambil mengengkol motor. Menarik gas, lalu membelah jalanan padat merayap kota yang menjadi salah satu tempat paling panas di dunia.

Bukannya langsung pulang ke rumah, Ines menyuruhku menggok ke warung makan sederhana. Dia pesan nasi campur lauk telur bali kesukaan. Ditambah kerupuk putih sedikit kuning mangkak, Ines melahap habis satu piring hanya dalam hitungan menit. Aku biasa saja. Sudah biasa melihat setan ini. Kalau moodnya lagi tidak bagus, dia alihkan ke makan, nyemil, dan nonton film. Opsi terakhir: menganggu saya. No debat.

Sementara aku tak ngene sek. Rokokan, ngopi, dan scroll sosial media. Ada ajakan main Let’s Get Rich dari ayangku yang tepos, namun aku menolak karena masih ada di jalan. Sering sih kami mabar berdua. Lebih jago Febi main monopoli itu ketimbang aku. Hahaha.

Sambar sana, sambar sini. Membereskan kekacauan dengan tisu pada mulut belepotan sisa kuah, Ines menghabiskan es teh manis. Biar emosi, dia tetap elegan menyeruput lewat sedotan. Untung tidak lewat mbun-mbunan. Bisa modyar!

“Yok opo, Nes?” (Gimana, Nes?) ini kalimat pembuka yang biasa aku lontarkan kepada Ines kalau kami sedang canggung.

“Mas Ardi itu lho nggatheli, pek!” gerutu Ines, sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Aku meletakkan ponsel di atas meja. Menajamkan pandangan. “Kon diapakno?” (Kamu diapakan?)

Ines cepat memegang tanganku saat melihat perubahan suara dan wajahku. Dia sudah tahu aku. Dia pasti tak ingin ada keributan mengundang kesalahpahaman. “Enggak. Mas Ardi cuma janji Sabtu besok ngajak aku berdua aja ke Bukit Jedih. Aku kan belum pernah ke sana juga. Seenggaknya sekalian qtime. Eh, dia malah ngajak temen-temennya. Walaupun ada ceweknya, tapi tetep aja aku jadi kesel, jancok! Terus tadi …” Ines berapi-api sampai suaranya melengking hingga memerah wajahnya menahan emosi. “Itu kasi yang bagian Kesos Pak Budi anjing itu caper banget ke mejaku. Cok! Belum lagi dari beberapa hari ini ngechatin aku terus!” Ines membuka tasnya. Mencari ponsel. Klik-klik sebentar, lalu dia tunjukkan kepadaku. “Nih, bacaen, Dek. Gathel gak?” (Nih, baca coba, Dek. Menyebalkan tidak?)

Aku geleng kepala membaca chat via LINE dari orang bernama Pak Budi. Ganjen sekali isi chatnya, padahal orangnya sudah beristri dan tak lagi muda. Pak Budi ini sering aku melihat lelaki itu menemani Ines sambil menunggu aku datang. Wajah tak nyaman Ines kentara sekali. Dia paling tidak bisa bermuka dua dalam kondisi apa pun. Selain daripada itu, wajah Pak Budi kelihatan alim. Jidatnya juga hitam sering sujud nganti benjud. Sopo yoan yang menyangka dibalik alimnya kasi Kesos itu, tersimpan nyala sange tak tertahankan melihat kemolekan kakakku. Asu. Aku sih tak terlalu ambil pusing. Selama orang itu tidak macam-macam menyentuh tubuh Ines, aku no respon. Mungkin sedikit ancaman saat besok bertemu bukan ide yang buruk.

Curhatan Ines tetap kudengarkan. Mencoba menjadi pendengar yang baik biarpun mata tinggal 5 watt alias ngantuk berat. Setan. Beruntung ada pemandangan indah Mbak Siti, anak pemilik warung Bulek Yem. Sesekali mengukir senyum manis melayani pembeli, semanis bibir sigar jambenya. Mbak Siti ini kerap terlibat membantu ibunya jualan. Bahkan sudah sering digoda oleh pengunjung warung. Mau itu tukang becak, kuli, mahasiswa, sampai bocah-bocah SMP genit kelewat tengil.

Nye, nye, nye. Selesai sudah kalimat pengantar yang disampaikan Ines sambil menunjuk-nunjuk ponselnya. Anehnya, satu tangannya masih setia mengenggam tanganku. Entah apa maksud betina satu ini.

Hingga malam hari, telah berkumpul keluargaku. Ah, minus ayahku yang mengabari ibu kalau beliau akan ke garasi elf. Mau cek mesin untuk satu mobil yang baru datang mengantarkan penumpang ke kota BWI, katanya. Baik ibu atau pun kami anak-anaknya tak masalah. Selama ayah masih bertanggung jawab memberi kami uang, bebas saja mau ke mana pun. Ibu sendiri bukan tipikal wanita posesif. Dialah yang justru menjadi pelopor kebebasan berekpresi di rumah ini. Dengan catatan: tetap dalam batas wajar.

Kami bertiga baru saja menyelesaikan makan malam. Menu sederhana pengganjal perut keroncongan. Hingga tak lama, ada tamu di depan rumah. Ternyata Mas Ardi. Aku mempersilahkan masuk. Eh, bukannya ikut menyambut, Ines malah naik ke lantai dua. Dia mengunci diri di kamarku tak mau keluar. Ngambek anaknya, cuk.

Jadilah hanya aku dan ibu yang menemani Mas Ardi mengobrol. Sesekali kami makan cake yang dia bawa. Intinya, Mas Ardi ke sini ingin menemui Ines. Ingin minta maaf karena salah bicara. Dia menjelaskan rencana liburan akhir pekan ke Pulau Garam. Namun, baik aku mau pun ibu tak bisa membujuk Ines kalau sudah ngambek begini.

Hingga akhirnya, sisa aku dan Mas Ardi yang pindah mengobrol di teras sambil rokokan. Dua kopi hitam buatan ibu menemani percakapan dua lelaki dewasa.

“Ojok sampeyan larani Ines, Mas. Iku mbakku. Ajenono aku sebagai adek’e.” (Jangan kamu buat sakit Ines, Mas. Itu kakakku. Hargai aku sebagai adiknya.) Aku mengingatkan.

Mas Ardi melirikku sambil tersenyum. “Aku ngajeni awakmu, Yo. Ojok kuatir. Sepurane, ketokane Tasya mbari cerito nang awakmu. Bener, ta?” (Aku menghargai kamu, Yo. Jangan khawatie. Maaf, kelihatannya Tasya habis cerita ke kamu. Benar, kah?)

“Kurang lebih, lah.”

“Yo yok opo, ya. Aku Iki kan maringene wisuda tho. Aku kepingin nggawe momen bareng arek-arek sekalian ngajak Tasya. Karepku ngunu.” (Ya bagaimana, ya. Aku ini kan habis gini wisuda, sih. Aku berkeinginan membuat momen bersamaan teman-teman sekalian ngajak Tasya. Inginku begitu.)

“Aku gak ngurus bah sampeyan kape wisuda ta gak. Intine ojok nggarai mbakku loro ati gegara omongane sampeyan. Mbakku iku wedok. Haruse sampeyan seng tuwek lebih paham tekan aku soal ngenean.” (Aku tidak peduli mau kamu akan wisuda apa tidak. Intinya jangan membuat kakakku sakit hati gara-gara ucapanmu. Kakakku itu perempuan. Harusnya kamu yang tua lebih paham dari aku soal ini.)

“Loro ati piye, Yo? Perasaan aku mek ngomong nang Tasya ngejak koncoku. Uwes. Iku pun ada cewek’e. Gak mungkin kan batangan kabeh.” (Sakit hati bagaimana, Yo? Perasaan aku hanya bilang ke Tasya ngajak temanku. Sudah. Itu pun ada ceweknya. Tidak mungkin kan laki semua.)

“Yo sampeyan ngotak, lah! Pantes ta qtime seng dikarepno mbakku berdua malah ketambahan wong njobo seng de’e gak kenal? Lek onok gak nyamane mbakku, opo sampeyan isok ngatasi ijen lek de’e wes kadung porek? Lek coro aku dadi sampeyan, mending budal wong loro tok. Gak pateken dirasani konco soale gak dijak. Gak urusan. Ambek konco iku isok kapan ae. Lah lek ambek pacar momen’e yo gak bendino.” (Ya kamu mikir, lah! Pantaskah qtime yang diinginkan kakakku berdua malah ketambahan orang luar yang dia tidak kenal? Kalau ada tidak nyamannya kakakku, apa kamu bisa mengatasi sendiri kalau dia sudah terlanjur merajuk? Kalau semisal aku jadi kamu, mending berangkat berdua saja. Tidak masalah jadi omongan teman karena tidak diajak. Tidak urusan. Sama teman itu bisa kapan saja. Lah kalau sama pacar momennya ya tidak setiap hari.)

Deeptalk antara aku dan Mas Ardi sebenarnya cukup panas. Namun, Mas Ardi sendiri orangnya dewasa sekali. Dia tak terpancing emosi. Bahkan ekspresinya selalu kalem dan tegas. Sangat jauh berbeda dengan senior flamboyan jenis boti di kampusku. Membandingkannya membuatku mual. Dobol.

Jam sembilan, atau setengah puluh mungkin. Pamit pulang Mas Ardi. Gagal menemui Ines, dan berakhir membatin harus menghadapi bocah kurang ajar sepertiku. Walaupun aku tetap sopan memanggilnya ‘mas’ karena dia digadang-gadang akan menjadi pasangan Ines seumur hidup, tak mengurangi intimidasiku kepada lawan bicaraku. Satu hal penting yang aku pelajari dari ayahku sendiri. Disegani semua orang sampai bisa sukses dan punya kenalan di mana-mana. Menjadi pembeda di tumpukan batu kali. Bersinar seorang diri di kegelapan.

Setelah Mas Ardi meninggalkan area rumahku, aku masuk ke dalam. Mencomot satu cake. Memakannya sambil berjalan menuju lantai dua. Kulihat pintu kamar ibu dikunci. Kalau tidak tidur, ya pasti sedang sibuk di depan laptop. Normal day in my family.

Di atas, aku mengetuk pintu kamarku sendiri. Asu, kan? Aku berasa tamu, cuk.

“Nes, bukaen lawange! Bebebmu wes moleh!” (Nes, bukalah pintunya! Kekasihmu sudah pulang!) seruku, dari luar.

Klek!

Pintu terbuka setengah. Ines melonggokkan kepala sambil menatapku. “Temen, ta?” (Sungguhan, kah?)

“Gak krungu kupingmu abane knalpot peda bebebmu?” (Tidak dengar telingamu suara knalpot sepeda kekasihmu?)

“Yok opo kape krungu lah aku ndelik ndek kene, Dek.” (Bagaimana mau dengar lah aku sembunyi di sini, Dek.)

“Yo wes, metuo. Aku kape salin.” (Ya sudah, keluarlah. Aku mau ganti pakaian.) Aku membuka kamarku sampai full. Langsung masuk, dan mendorong Ines keluar kamar.

Ines menahan pintu agar tetap terbuka, lalu bertanya, “Kape nandi, Dek?” (Mau ke mana, Dek?)

“Ngopi.” Aku menjawab singkat. “Awas tanganmu, he.”

“Meta-metu tok ae kamu. Ngopi nang omah po’o, seh. Endel kamu iki.” (keluar-keluar mulu kamu. Ngopi di rumah kenapa, sih. Lenjeh kamu ini.)

“Cuk. Mayak kon. Wong kape ngopi kok diwara endel barang.” (Cuk. Kurang ajar kamu. Orang mau ngopi kok dibilang lenjej segala.)

“Yo ndek omah onok kopi, lapo sek atene ngopi ndek njobo barang? Pemborosan iku jenenge.” (Ya di rumah ada kopi, kenapa masih mau ngopi di luar segala? Pemborongan itu namanya.)

Ines yang mengomel di depan pintu kamar kubiarkan saja. Sudah capek aku melawan cewek ini. Ganti pakaian tanpa membuka celana, aku tambahkan hoddie hitam dengan logo DC. Mengambil charger, dompet, ponsel, lalu kumasukkan jadi satu ke dalam tas selempang.

“Wes bengi, Dek. Ojok kelayapan.” (Sudah malam, Dek. Jangan kelayapan.) Ines menegur. Cerewet sekali.

Aku menatap Ines sambil mencubit pipi bakponya. “He, celengan angop. Rungokno, yo. Aku kape ngopi iku tujuane onok telu.” (He, celengan angop. Dengarkan, ya. Aku mau ngopi itu tujuannya ada tiga.)

Sambil mengelus bekas cubitanku, Ines bertanya, “Seng pertama?” (Yang pertama?)

“Nggolek inspirasi.” (Mencari inspirasi.)

“Seng keloro?” (Yang kedua?)

“Butuh konco cerito.” (Butuh teman cerita.)

“Seng ketelu?” (Yang ketelu?)

“Sekalian tuku rokok.” (Sekalian beli rokok.)

“Seng kepapat?” (Yang keempat?)

“Mari, ndeng!” (Sudah, gila!)

“Seng kepapat, kamu entenono nang kene. Tak junjunge warung ngarep merene.” (Yang keempat, kamu tunggulah di sini. Aku angkat warung depan ke sini.)

“Hangkrek. Mbohlah. Karepmu.” (Hangkrek. Tidak tahu, lah. Terserah kamu.) Aku melempar tas selempangku ke atas ranjang. Duduk di pinggirnya. Bekas bau apa ini kok agak aneh? Seperti bau …

“Lungguh sing anteng. Coploken sisan iku jaketmu. Prejenganmu koyok wong villa ae.” (Duduk yang tenang. Lepas sekalian itu jaketmu. Penampilanmu seperti orang villa saja.) Ines berkata cepat. Masuk lagi ke dalam, dan membantuku melepas hoddie. Lantas, dia pakai hoodie ini di tubuhnya.

Aku yang tidak tahu menahu apa tujuan Ines ini hanya menggerutu kesal. Kualihkan suaka untuk mengurangi badmood dalam hati. Mengirim pesan ke Febi mengajak mabar Let’s Get Rich membentuk tag tim. Ada kiranya dua sampai tiga game aku dan Febi larut dalam permainan. Hingga akhirnya …

“Dek,” panggil sebuah suara.

Aku menoleh. Mendapati Ines yang berdiri di depan kamarku. Masih memakai hoddie. Ada tambahan instan hijab warna hitam melekat di kepala. Itu hoddie kalau dibuka bisa menampakkan seragam piyama warna kuning gambar marsupilami. Cok, lah.

Namun, tak hanya itu yang menjadi perhatianku. Cangkir putih milikku sendiri yang biasa kugunakan untuk ngopi berasa di tangan kanan Ines. Sedangkan tangan lainnya menggoyang-goyangkan sebungkus rokok ke atas sambil tersenyum meledek.

Tanpa banyak bicara, segera aku mengambil dua benda itu dari tangan Ines. Membawanya ke balkon tempat biasa aku nongkrong. Duduk santai di atas dingklik menikmati udara malam, aku membakar rokok. Meniup kopi, lalu menyeduhnya sedikit. Kopi hitam sedikit gula. Rasanya pas. Ines memang stalker handal. Sedetail ini dia memperhatikanku. Asu. Kembali kebingungan mulai berputar di otakku.

Tak lama, Ines yang sebelumnya sempat turun ke lantai satu, kini kembali ke atas. Menghampiriku. Duduk tepat di sebelah kananku. Refleks kupindahkan rokok ke tangan kiri.

Aku meliriknya. Menyorot dalam wajah manis Ines yang terpapar cahaya remang. Wanita sat-set penuh enerjik. Selalu ceria dan jarang menunjukkan kelemahannya. Tak hanya kepadaku, galaknya sudah mendarah daging bahkan ayah pernah kena geprek. Bajingan.

“Yok opo, Nes?” (Bagaimana, Nes?) aku membuka obrolan di kesunyian antara kami yang masih awet terjaga.

“Besok temenin aku refreshing, yuk!”

“Katanya mau ke bukit jedih? Nggak jadi?”

“Gak! Udah males!”

“Santai aja. Nggak usah pakai urat gitu ngomongnya.”

“Eh, maaf.”

Aku cengo. Apa aku tidak salah dengar? Apa telingaku normal? Barusan aku mendengar kata maaf meluncur dari tenggorokan wanita sadis sebelahku ini, lho. Beneran. Ini kejadian langka, jancok. Perlu diabadikan, dicetak, lalu dimuseumkan.

“Nes, aku males basa-basi.” Aku menghisap rokok. Menghembuskannya ke samping. “Bisa nggak kita balik kayak biasa?”

“Apa ada yang salah?”

“Salah. Kon wes kejeron. Sadaro, Nes, lek kon iku mbakku. Iling-ilingen maneh lek aku iki adekmu. Nes?” (Salah. Kamu sudah terlalu dalam. Sadarlah, Nes, kalau kamu itu kakakku. Ingat-ingatlah lagi kalau aku ini adikmu. Nes?)

Ines nampak melamun. Wajahnya pias gundah gulana. Masih menggenakan hoddie-ku, dia memeluk tubuhnya sendiri. Kemudian, berkata pelan, “Aku sendiri juga bingung … aku ini ngapain.” Ines mulai terisak. Lagi. “Padahal aku udah tahu ini salah … maaf … maaf kalau aku kelihatan murahan di matamu.”

Aku mendesah panjang. “Nes.”

Tergerak aku maju. Meninggalkan rokok yang sisa setengah. Mengabaikan kopi yang mulai dingin. Aku gandeng masuk ke dalam. Menutup pintu balkon, lalu mengajaknya masuk ke dalam.

Begitu banyak perasaan antara marah, bingung, nafsu, cinta, dan benci. Semua itu tergabung ke dalam genderang dada berdebar kencang. Menggetarkan setiap syarafku. Menajamkan semua inderaku. Hingga kemudian, aku membimbing Ines duduk di tepi ranjang. Lampu masih dalam keadaan menyala. Deg-degan, grogi, jadi satu. Baik aku mau pun Ines sama-sama kikuk. Tanpa perlu banyak kata lagi, tubuh kami saling merapat.

Cup!

Menjalar hangat sebuah kecupan dua bibir saudara sak getih. Terlalu nikmat untuk disebut ciuman. Terlalu lezat untuk disebut nafsu. Kasih sayang dan cinta kami sebagai saudara tumbuh berkembang menjadi pohon cinta. Buahnya berbentuk hati. Seiring badan kami mulai rileks, ciuman kami kian dalam. Sangat dalam. French kiss. Pagutan. Hisap lidah. Gigit bibir. Dua lidah menari-nari gemulai di rongga mulut. Ini adalah awal di mana ledakan birahi kami berdua mulai menggelora. Hanya ada desahan lembut mengabaikan ibu kami tidur di bawah. Aku dan Ines menjadi budak nafsu. Badanku panas. Darahku berdesir. Kontolku mengencang hebat di bawah sana.

Masih tetap berciuman, agak tergesa kami saling menelanjangi diri. Toples sudah kami berdua. Di bawah lampu putih neon yang berpijar di tengah ruangan, kusaksikan gambaran bidadari yang terdampar di pinggir kota. Sosok wanita gendut yang menjelma menjadi wanita idaman. Aku tidak menyuruh. Pun tidak melarang. Ines sukses menurunkan berat badannya dari 80 lebih hingga jadi ideal seperti ini. Lehernya putih jenjang. Kedua susunya padat dan mengkal menantang mancung ke depan berhiaskan puting coklat mungil beraerola coklat terang. Lekuk perut sampai pinggul ke bawah sangat serasi dengan gua tersembunyi berjembut tipis.

“Aku ndredek, Dek.” (Aku berdebar, Dek.) Ines merapat ke badanku. Kami yang masih duduk di atas ranjang saling berpelukan. Skin to skin.

“Aku sisan, Nes. Tapi aku pengen ngene terus.” (Aku juga, Nes. Tapi aku ingin begini terus.) Aku menuntun tangan Ines merasakan debaran jantungku yang lebih cepat dari jantung kuda. “Keroso gak, Nes?” (Kerasa tidak, Nes?)

Anggukan Ines berikan. “He-em.”

“Nes,” bisikku, seraya menatapnya dalam.

“Ojok ndelok aku koyok ngunu, Dek, aku isin.” (Jangan melihat aku seperti itu, Dek, aku malu.)

“Lapo isin? Kamu lho ayu. Montok sisan.” (Kenapa malu? Kamu lho cantik. Montok juga.) Aku menggombal, sambil menatap penuh senyum merekah di bibir sialanku.

Ines mendorong pipiku. Dia salting brutal. “Wes, wes. Lampune patenono.” (Sudah, sudah. Lampunya tolong dimatikan.)

Aku mengangguk. Setelah mematikan lampu, suasana kamar jadi lebih romantis. Hembusan angin malam menerjang masuk dari celah pintu kamar. Mencoba membantu mengeringkan keringat di tubuhku dan Ines yang mulai menguar santer tercium menambah rangsangan.

“Nes,” bisikku, serak. “Aku nggak kuat.” Seraya meremasi bongkahan susu Ines dengan jemari tangan menggelitik kedua puting sampai mengeras. “Besar, Nes.”

“Ahhhh … Dek … jangan kayak gitu. Sssshhh … Dekkk … hmmm ….” Ines menggelinjang. Dia maju-majukan badannya menabrakkan selangkangannya ke perutku.

Hap!

wanita-cantik-sange-38-1-819x1024 Incest Bersama kakaku part 2

“Ahhhhhhhh!” desahan manja Ines saat aku berhasil memasukkan satu puting susunya. Menjilat, menghisap, sampai memberikan gigitan kecil mengundang erangan nikmat dari mulutnya.

Bangsat, bajingan, kurang ajar! Sudah terlanjur. Aku dan Ines sudah jauh. Sebelum Ines menyerah mendapatkan perhatianku, aku beri feedback seperti apa yang dia inginkan. Malam itu, kami tak ingat apa-apa. Hanya ada desahan, erangan, dan rintihan kami berdua saat aku dan Ines saling memuaskan.

Aku asyik menghisap kedua susu Ines, sampai akhirnya memberikan servis pada liang memeknya. Warna merah jambu berjembut tipis di atasnya. Begitu menggairahkan. Klitoris yang sebesar pucuk spidol terasa enak di bibir dan lidah. Satu, dua, tiga. Entah berapa kali Ines mengejang hanya dengan permainan bibir, lidah, dan satu jariku menusuk memek perawannya menjelajah mencari titik g-spot di langit-langit.

Hingga tibalah giliranku. Ines awalnya takut. Bahkan dia sempat menolak untuk mengoral kontolku. Bukan apa-apa, kontolku memang tidak panjang seperti di film porno. Hanya tidak lebih dari 17 cm. Namun, ukurannya yang gemuk membuat mulut Ines terlihat penuh. Sampai akhirnya, aku sudahi saja Ines yang berusaha memberiku kenikmatan melalui mulut. Sebab, aku tak ingin melihat Ines terpaksa melakukan itu demi menyenangkanku yang sudah membuatnya kelojotan sampai kasurku basah kuyup. Jadilah, opsi terakhir yang kami obrolkan adalah dengan Ines mengocok kontolku sambil kami rebahan dan berciuman.

Clek! Clek! Clek!

Kocokan jemari tangan Ines yang kuat dan bertenaga menghantarkanku menuju rasa nikmat tak terkira. Siapa yang menyangka kakakku ini melakukan hal mesum dengan adiknya sendiri? Tidak ada yang menduga kami terhempas dan terjemurus ke dalam lingkaran setan tiada ujung.

“Sssshh? Nesss! Enakkk! Terus, Nesss!” aku mendesah tertahan.

“Hmmm … mmmm ….” Ines bergumam sambil terus menatapku penuh nafsu.

“Ahhhh! Ahhhhh! Mbakkkk!” aku panik. Segera aku bangkit dari rebahan. Satu tangan menekan pundak Ines, tangan lainnya menjambak rambutnya, lalu kuarahkan moncong kontol memaksa masuk ke dalam mulut Ines dengan nafsu di ubun-ubun.

Crot! Crot! Crot! Crot!

Badanku bergetar hebat sekali. Sendi-sendi tubuhku berasa lepas. Tulangku seketika remuk. Tembakan kuat berliter-liter spermaku ke dalam rongga mulut Ines sampai dirinya melotot. Tersedak. Tetap pada posisi, aku terkejat-kejat menuntaskan semburan air maniku ke dalam mulut Ines. Mulut suci kakak perempuanku yang kunodai dengan cairan putih kental yang keluar dari kontol coklat berurat. Bangsat.

Aku bagai terbang ke awang-awang. Sensasi yang jauh lebih kompleks. Bukan soal laki-laki dan perempuan. Ini sudah beda dimensi. Perasaan sayang dan cinta menyeruak tak terhentikan.

Tanpa kata, aku membantu Ines bersih-bersih. Ala kadarnya saja. Lalu, setelah membuang sprei bekas cairan cinta kami, aku menarik Ines untuk rebahan di atas tubuhku. “Mbak, aku cinta kamu.” Aku berujar dengan suara berat sambil mengukung tubuhnya. Aku masih berdebar kencang dengan pengalaman pertamaku bersama Ines. Seolah kepuasan hakiki yang selama ini kucari telah mencapai kata finish. Laksana raja bertemu ratu, aku mengabaikan selir-selir yang lain. Hanya ada Ines di hatiku. Sekarang, dan selamanya.

“Aku lebih cinta kamu, Dek.” Ines terharu. Wajahnya rebah di dadaku sambil meneteskan air mata. “Aku seneng banget kamu manggil aku mbak lagi … aku juga bahagia kamu cinta sama aku.”

Aku mengusap lembut rambut Ines. “Ya. Kayaknya perasaanku yang selama ini tak pendem ke kamu tumpah juga. Ternyata aku emang sayang kamu, Mbak. Sayang banget.”

Tangan Ines ikut-ikutan mengelus rahangku. Sedikit mendongak, dia tersenyum bahagia. “Mau sayangmu sebagai adek atau apapun, aku nggak peduli. Selama kamu tetep di sini sama aku, jagain aku, ngelindungin aku, aku bakal ngasih segalanya ke kamu.” Ines menuntun tanganku ke arah memeknya. “Kecuali ini, ya.”

“Kamu masih segel, ya, Mbak?”

“Ya. Mas Ardi pun nggak pernah sejauh ini seperti apa yang kita lakukan sekarang.”

“Nggak usah bahas orang lain!” aku menggeram. Gusar. “Jangan ngerusak moodku.” Aku turunkan nada bicaraku. Agak keterlaluan membentak wanita dalam pelukanku ini.

“Hihihi, iyo, iyo. Ojok ngamuk-ngamuk, ya. Sini cipok dulu.” (Hihihi, iya, iya. Jangan marah-marah, ya. Sini cium dulu.) Ines tertawa renyah. Lantas mencium bibirku singkat. Kembali dia memandangi dengan sorot sendu. “Aku bahagia dipeluk kamu gini, Dek. Rasanya kayak kamu segalanya buat aku.”

Aku mendengus. “Ojok ngomong ae, Mbak. Ngaceng maneh engkok aku.” (Jangan bicara mulu, Mbak. Ereksi lagi nanti aku.)

Ines cekikikan, lalu berucap lembut sambil mengecup bibirku, “Love you, Dek.”

Aku mengeratkan pelukan, dan ikut berbisik, “Love you too, Mbak.”

Keesokan harinya adalah Sabtu. Diskusi singkat antara aku dan Ines pagi ini mencapai kata sepakat berangkat ke Cangar. Ines pernah ke sana bersama teman cewek-cewek, juga berdua sama Mar Ardi. Sedangkan aku baru sekali. Itu pun masih SMA kelas 10 dan belum punya SIM. Nekat berangkat boncengan sama Ambon serta geng kecilku. Selanjutnya tak pernah ke sana lagi karena aku healing-nya lebih banyak ke daerah Jawa Tengah. Tujuanku ya riding sama teman-teman sesekali menginap dan menemui Mbah Kung dan Uti dari pihak ibu yang ada di kota plat AD. Tepatnya di daerah Mojo. Uti ini usianya sudah sepuh. Beliau ini kelak menjadi cikal bakal sekaligus inspirasiku menulis dan menamatkan cerita Nenekku, Pahlawanku. Orang gila mana yang berhubungan badan dengan neneknya sendiri? Ada, aku orangnya. Real? Urusanmu. Jika digambarkan, Uti ini sangat jauh sekali dibanding the perfect MILF ever. Tidak. Beliau ini tetaplah lansia. Hanya susunya saja yang … entah kenapa besar seperti pepayan. Ndelewer gundal-gandul. Sering kalau di rumah pakai kutang ala desa sama jarik diikat sambil ngunyah sirih. Walaupun umurnya di atas 60 dan sudah keriput, sisa-sisa kecantikan dan keanggunan beliau masih ada. Kulitnya kuning terawat. Apalagi suaranya yang kalem, lembut, dan penuh kasih sayang bikin aku khilaf kala itu. Ah!

Oke, kembali ke jalan cerita utama. Hari Sabtu ini, aku menghabiskan waktu berdua bersama Ines di luar kota. Sudah dapat izin dan uang saku, tentu saja. Selain itu, aku lebih dulu mengabari Febi jika aku sedang bersama Ines. Jelas Febi tak menaruh curiga sama sekali kepadaku. Sebab, aku dan Ines saudara kandung. Pikiran negatif tak ada di benak Febi.

Mengabadikan setiap momen di ponsel kami masing-masing. Lebih banyaknya aku jadi fotografer dan tukang bawa barang-barangnya kakakku. Nemen.

Mampir ke berbagai spot. Menikmati suasana rindang pepohonan. Menghirup udara siang yang sejuk berawan tenang. Serta merta dibarengi menyantap hidangan warung yang sama yang pernah aku dan geng SMA-ku kunjungi. Warung ini menampakan panorama sawah yang menghijau membentang sejauh mata memandang.

Masih di Cangar, kami bertolak renang ke kolam air panas. Ines dalam balutan baju renang full body yang ngepress dan memakai jilbab instan. Orang menyangka kami pasangan kekasih. Menang benar. Pasangan tanpa status yang jelas. Padahal kami sama-sama punya gandengan. Tapi saling mengkhianati demi menggali dan memastikan kebenaran perasaan kami berdua. Benarkah ini kasih sayang kakak dan adik, ataukah jauh lebih dari itu? Jawaban itu perlahan terjawab seiring kedekatan kami yang semakin intim.

Pecah perawan anus Ines saat kami staycation di daerah Batu pun semakin mengokohkan perasaan kami. Panas dan ingin lebih. Saling nyaman, saling mengasihi, dan saling mengerti. Ines mengungkapkan segala keresahannya saat bersama Mas Ardi. Dimulai dari Mas Ardi yang sering merayu Ines untuk bercinta sebelum waktunya, hingga Ines mengancam Mas Ardi akan mengadu kepadaku. Alhasil, lubang memek Ines tetap terjaga sampai dia resmi menjadi istri Mas Ardi beberapa tahun kemudian.

Berjalan satu bulan hubungan tabu kelewat gelap antara aku dan Ines sejak kami pertama kali melakukan anal. Adik dan kakak yang sama-sama liar. Kesepakatan bersama untuk tidak merusak memek Ines aku pegang sungguh-sungguh. Hanya sebatas jilat, hisap, dan tusuk satu jari sampai Ines terkencing-kencing. Bahkan saat aku menghujamkan kontolku ke anusnya yang masih sering mengeluarkan darah karena kurangnya pelumas yang aku gunakan, beberapa kali Ines ngecrit kala jemari tanganku ikut bermain menggesek itil sebesar biji ketumbar itu.

Sekarang bulan Mei. Bukannya anak kelas 9 SMP study tour ke Bali. Itu artinya, rumah dalam keadaan kosong untuk tiga atau empat harian. Sementara ayah tak menentu. Kadang pulang, kadang tidak. Nyater elf tergantung maju-mundurnya jadwal di mana bisnis ayah melebar hingga membuat PO armada bus sendiri.

Intinya di minggu kedua bulan Mei, tiga harian aku dan Ines ngendok di rumah. Keluar rumah kalau lagi pingin njajan. Itu pun aku yang disuruh. Jiwa bos masih ada meskipun dia sudah memamerkan seluruh tubuh montoknya kepada adiknya. Kepadaku.

Semakin intens. Semakin tak terhentikan. Aku dan Ines lupa diri. Lupa segalanya. Mengabaikan kuliah, seminar, praktikum, bahkan panggilan UKM dan Senat.

Benar, aku melupakan segalanya, termasuk Febi yang masih setia menanyai kabarku kendati kami jarang bertatap muka. Pun Ines yang mengabaikan dunia yang dibangunnya bersama Mas Ardi dengan memanfaatkan celah keretakan saat Mas Ardi gagal mengajak Ines liburan ke bukit jedih kala itu. Selicik itu Ines. Wanita paling berbahaya yang kerap membuatku adem panas. Sudah minum lasegar, masih saja kekeringan. Asu.

Katakanlah hubunganku dan Ines dengan pasangan masing-masing renggang. Sebaliknya, kami semakin lengket seperti prangko. Ke mana-mana selalu bareng dan tak terpisahkan. Karenanya, tepat sebelum memasuki bulan suci ramadhan, aku membuat keputusan sepihak. Aku tak masalah Ines tetap pacaran sama Mas Ardi. Tapi, berbeda dengan aku sendiri yang berniat memutuskan hubungan cintaku sama Febi. Banyak faktor yang aku pertimbangkan. Salah satunya, aku tak ingin membuat Febi larut dalam kesedihan karena aku sering mengabaikannya.

Weekend minggu ketiga bulan Mei, tepatnya sore hari, aku membuat janji bertemu dengan Febi di sebuah cafe. Aku menjemput Febi di kostan. Kami motoran sore hari melepas rindu. Febi masih sama. Tak ada yang berubah darinya. Hanya susunya sudah sedikit mengembang. Satu lagi kantung mata hitam sering begadang untuk nugas.

Hingga malam hari, aku cukupkan hari ini menyenangkan hati Febi. Sampai di kostan. Seingatku belum jam 10 malam. Di sana, aku mengungkapkan kepadanya jikalau aku tak bisa bersamanya lagi. Dalam artian, aku mengakhiri percintaan kami.

Aku menegaskan ke Febi jikalau ini bukan berarti aku punya wanita lain. Tidak, aku tidak punya. Menurutku, Ines tidak termasuk hitungan wanita lain. Dia kakakku, selamanya akan tetap begitu.

Febi yang kubuat menangis malam itu mendesak agar aku bercerita tentang “ada apa denganmu selama ini?”.

Di sana, aku mengungkapkan ke Febi, bahwa aku memiliki masalah yang tak bisa aku katakan sekarang. Jalan keluarnya adalah kita putus. Bukan break. Aku menjanjikan satu hal ke Febi: datanglah ke rumahku kalau kamu melihatku mengandeng seorang wanita. Kamu bisa menghajarku sampai mampus.

Terakhir, aku ucapkan kepada Febi kalau aku akan selalu mencintainya. Febi adalah cinta pertamaku di kampus. Febi menemaniku dalam suka dan duka. Keputusan yang sangat berat aku ambil demi melindungi hati Febi sendiri. Aku tak ingin jika dia tetap memaksa terus bersama, sementara pikiranku tertuju kepada Febi.

Dengan berat hati menerima keputusanku. Pecah tangisan kami di dalam kamar. Berpelukan. Berciuman. Dan untuk terakhir kalinya, kami sepakat akan membuat kenangan terindah.

“Untuk kali ini saja … keluarin di dalem, Yang,” ucap Febi, dengan mata sembab.

Bercintalah kami. Entah berapa ronde dan berapa liter aku menyemprotkan spermaku malam itu di memek sempit Febi. Aku sudah mengambil resiko menuruti keegoisannya. Ya, ini timbal balik. Andai Febi hamil, aku siap bertanggung jawab. Diusir dari rumah karena kelakuanku sendiri … aku siap lahir batin.

Hari demi hari berlalu. Sedikit ngerundel dan cemas campur was-was. Penyesalanku menembakkan sperma di dalam memek Febi untuk terakhir kalinya masih menghantui pikiranku. Makan tak enak, tidur pun tak nyenyak. Kadang suka melamun. Kadang juga kembali scroll-scroll riwayat chat di LINE kami. Tak terasa, air mataku meleleh. Betapa berdosanya aku kepada Febi. Memang benar aku mengambil perawannya, bahkan dia tak pernah menolak aku ajak bercinta. Namun, bukan berarti aku tipikal predator modal kontol doang. Tidak. Aku relakan uang saku dan sisa tabunganku untuk kuberikan ke Febi. Dari pakaian, sepatu, dalaman, sampai kebutuhan kost Febi aku kasih dia. Walaupun aku bukan orang kaya, tapi bagiku kebahagiaan pasangan lebih utama. Mau itu uang, waktu, atau apa pun akan kuberikan demi mendapat senyum indahnya.

Aku yang mulai murung, sering merenung di kamar, dan jarang berinteraksi keluar tentu mengundang perhatian Ines. Dia selalu peka apa yang tengah kurasakan. Bahkan waktu itu Ines juga nekat memutuskan Mas Ardi via chat untuk menunjukkan sayang dan cintanya kepadaku.

“Kalau kamu putusin pacarmu demi aku, aku juga bisa putusin pacarku demi kamu!” ucapan Ines tak pernah dusta. Bahkan sejak Ines memutuskan hubungan cintanya dengan Mas Ardi secara sepihak, dia tak pernah terlibat dengan lelaki lain.

Sampai di pertengahan cerita kami yang memasuki babak baru, tepatnya hari terakhir sebelum puasa, kami manfaatkan penuh untuk berhubungan badan dengan check-in di Hotel B daerah selatan yang jauh dari rumah.

Check-in dari jam 3 sore, dan baru pulang keesokan paginya. Di kamar hotel 816, kami ngentot anal sampai anusnya Ines lower, merekah, dan menganga. Bahkan di beberapa momen tercium bau kotorannya. Namanya juga lagi nafsu-nafsunya, aku tak peduli. Selain itu, Ines sudah lupa daratan. Dia membelikanku tisu magic di minimarket agar semakin tahan lama, dan tetap ngaceng. Bajingan. Ines begitu binal. Entah berapa kali dia orgasme dan squirt. Seisi kamar hotel bau kelamin kami. Terakhir, rekaman foto dan video kegilaan kami tersimpan rapi di galeri ponsel kami berdua.

gadis-sange-indonesia-70-588x1024 Incest Bersama kakaku part 2

Sejak saat itu, Ines sudah tak bisa dihentikan lagi. Dia sudah kecanduan anal. Aku pun kecanduan setiap jengkal tubuh Ines. Bahkan sepulangnya kami ke rumah, Ines kerap menunjukkan perhatian manjanya kepadaku. Jika disamakan dengan cewek zaman sekarang, Ines ini … CEGIL!

Share this content:

Post Comment

You cannot copy content of this page